Oleh : Lida Puspaningtyas, Jurnalis Republika
REPUBLIKA.CO.ID, Pajak oh pajak.. sedang ramai diperbincangkan, di gedung bertingkat hingga pangkalan angkot. Anda tidak mau tahu pun, isu ini ada di mana-mana. Kemarin saya baca memes yang seliweran di media sosial.
"Pajak mengalirkan harta dari si miskin ke si kaya"
"Orang kaya emang begitu, kaya duit bapaknya halal aja."
"Ayo warga taat bayar pajak! karena belum semua pegawai pajak punya Rubicon"
Lucu-lucu ya. Masyarakat Indonesia memang ahli sarkasm dan tertawa di atas penderitaan.
Memes itu hanya sebagian. Ulah Mario (20 tahun) yang menyeret sang ayah, Rafael (berharta Rp 56 miliar) yang merupakan pegawai pajak, yang kemudian menyeret satu Kementerian Keuangan RI (Dipimpin Sri Mulyani), yang pada akhirnya menyeret satu pemerintahan Indonesia (negara dengan peringkat korupsi ke-5 di Asia Tenggara menurut laporan Transparency International).
Efek bola salju yang membuat masyarakat semakin tidak percaya pada para elite. Rakyat pun menyebutnya sebagai only tip of the iceberg. Membuat gesekan antara si kaya dan di miskin semakin panas.
Tidak heran kalau Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan kalau kelakuan bawahan-bawahannya itu MENCEDERAI KEPERCAYAAN MASYARAKAT. Fyi, bu.. kepercayaan masyarakat memang sudah terluka sedari lama. Tapi yah, kami tidak apa-apa. Hidup kan tentang menyembuhkan luka-luka.
Tapi anyway, melalui tulisan ini, saya ingin menyajikan fakta bahwa pajak kita tetap berguna kok guys. Penerimaan pajak negara pada 2022 mencapai Rp Rp 1.717,8 triliun, itu 115,6 persen dari target Perpres 98/2022 lho.
Penerimaan pajak ini tumbuh 34,3 persen, jauuuuuh melewati pertumbuhan pajak tahun 2021 yang hanya sebesar 19,3 persen.
"Hal ini berarti kinerja pajak membaik ditunjukkan oleh realisasi yang melampaui target selama dua tahun berturut-turut," kata siaran pers Kementerian Keuangan pada 4 Januari 2023.
Sejumlah Rp 1.717 triliun ini akan jadi bahan bakar untuk program-program pemerintah. Bercampur dengan penerimaan-penerimaan negara lainnya, yakni Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan hibah. Secara rinci, sebut saja pajak, denda, kekayaan alam, bea dan cukai, kontribusi, royalti, retribusi, iuran, sumbangan, laba dari Badan Usaha Milik Negara / Daerah dan sumber-sumber lainnya.
Dana-dana itu dikumpulkan oleh Kementerian Keuangan untuk kemudian disalurkan melalui APBN. Nah, Penerimaan Perpajakan dalam APBN tahun anggaran 2023 ditargetkan mencapai Rp 2.021,2 triliun atau naik 5,0 persen.
Yah, dibanding penerimaan pajak yang empat digit itu, harta Rafael yang Rp 56 miliar tidak ada apa-apanya. Hanya 0,0033 persen dari penerimaan negara. Itu juga belum tentu hasil korupsi semua. Belum tentu juga cuma Rafal... ah sudahlah.
Mari kita lihat masa lalu saja. Siapa yang tidak kenal Gayus Tambunan yang heboh tahun 2010? Pegawai Pajak Golongan IIIA ini punya harta capai Rp 100 miliar, padahal gajinya hanya Rp 12,1 juta per bulan dan belum genap 10 tahun bekerja di Ditjen Pajak. Uang yang disita dari Gayus mencapai Rp 74 miliar dan ia dijatuhi penjara total 29 tahun.
Saat Gayus korupsi tahun 2010, penerimaan pajak negara sebesar Rp 649,04 triliun, tidak mencapai target yang ditetapkan sebesar Rp 661,4 triliun. Jumlah uang yang digelapkan Gayus adalah Rp 74 miliar. Ternyata itu hanya 0,0115 persen dari penerimaan pajak saat itu. 'Receh' ya. Itu pun digelapkan Gayus secara berkala tidak dalam satu tahun yang sama. 'Super receh'.
Tidak hanya Gayus, banyak pejabat pajak yang terbukti melakukan korupsi. Misalnya Direktur Ekstensifikasi dan Penilaian DJP Angin Prayitno Aji (Rp 50 miliar), pegawai pajak Dhana Widyatmika (2,5 miliar), Kepala Kantor Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak Jakarta VII DJP Kemenkeu Bahasyim Assifie (Rp 1 miliar). 'Sangat receh'.
Jadi meskipun ada yang korupsi, penerimaan pajak-pajak kita yang lebih receh lagi itu akan tersalurkan juga. Korupsi yang katanya sudah mendarah daging dan jadi sumber penghasilan 'tambahan' itu 'hanya' berjumlah 'recehan'. Yang kemudian jadi Rubicon, Harley, Hermes, Apartemen, Kondominium, dan merk-merk lain yang masyarakat nggak relate.
Berapa banyak sih masyarakat yang tahu merek Rubicon?
Ibu Menteri sudah sangat inovatif dalam membuat instrumen penerimaan pajak. Membuat penerimaan pajak jadi sangat powerfull untuk mendanai cita-cita negara yang katanya tahun ini fokus memberantas stunting dan kemiskinan ekstrem.
Sebagai bawahan, seharusnya para pekerja pajak tidak suka karena jadi banyak pekerjaan tambahan ya kan. Apa ada mungkin merasa senang, karena bisa melayani negara, sekaligus keluarganya.. dari memungut 'receh-recehan' itu.
Anggaplah kalau ibu meminta untuk membelanjakan Rp 100 ribu untuk keperluan dapur, lalu Rp 3,3 ditilep. Tidak seberapa kan? kalau kamu jawab iya, apakah kamu Gayus versi sachet?