Senin 13 Feb 2023 20:09 WIB

Menyegarkan Kembali Makna Berkonstitusi, Tentang Komitmen Kita

Ada upaya dari elite politik untuk membelokkan konstitusi Indonesia

Ilustrasi konstitusi negara Indonesia. Ada upaya dari elite politik untuk membelokkan konstitusi Indonesia
Foto: EPA
Ilustrasi konstitusi negara Indonesia. Ada upaya dari elite politik untuk membelokkan konstitusi Indonesia

Oleh : A Fahrur Rozi, mahasiswa Hukum Tata Negara UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, aktivis Forum Mahasiswa Ciputat

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA- Konstitusi kita didesain dengan komposisi demokrasi dan nasionalisme. Penghargaan terhadap hak-hak konstitusional meniscayakan negara-bangsa dibentuk dengan kehendak bebas dan kedaulatan bagi tiap individu, pactum unionis dan pactum subjectionis. Inilah mengapa sering muncul ungkapan “berpolitik dalam rangka bernegara, dan bernegara adalah berkonstitusi”.  

Cara bernegara kita adalah mempertautkan antardomain hak dan kebebasan dalam pertemuan konstitutif. Tujuannya adalah untuk menakar kebebasan dan kepentingan dalam kapasitas yang proporsional.

Baca Juga

Semua individu diperlakukan sama dengan asas kolektivisme dan kebersamaan. Pendeknya, konstitusi adalah akumulasi kehendak bangsa atas dasar tuntunan memori sejarah dan masa depan. 

Demikian sarat dan berat ancaman terhadap konstitusi saat ini. Dalam rentang 2022-2023, penulis berusaha memotret problematika kenegaraan yang cukup menghentak bagi keberlangsungan konstitusi. Kita melihat upaya pelemahan terhadap supremasi konstitusi. Saya membaginya dalam dua rumpun sektroral.  

Gerakan yang pertama berupa serangan terhadap konstitusi secara langsung. Hal ini dapat kita lihat pada gerak sejumlah elite partai yang menggaungkan wacana penundaan pemilu atau tiga periode jabatan presiden.

Selain itu, Kepala Desa juga menuntut perpanjangan masa jabatan yang mulanya 6 tahun menjadi 9 tahun. Padahal jelas, konstitusi mengiginkan adanya evaluasi kekuasaan dan sirkulasi elite secara berkala senapas dengan Pasal 22E UUD 1945.  

Pelemahan itu juga terlihat dari wacana penghapusan kekuasaan otonom di tingkat Provinsi dalam Pasal 18 UUD 1945 oleh elite Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Wacana tersebut mendalihkan peran gubernur yang yang sebatas kepanjangan adminstratif kekuasaan.

Baca juga: Ketika Sayyidina Hasan Ditolak Dimakamkan Dekat Sang Kakek Muhammad SAW

Keberadaannya hanya bentuk penghubung dari pusat ke daerah dengan pembiayaan anggaran yang cukup besar. Ibarat serangan tanpa bola, wacana berhasil membikin isu populisme.  

Gerakan kedua diarahkan pada Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai lembaga the guardian of the constitution. Gerakan dapat dilihat dari pemberhentian hakim Aswanto karena dianggap tidak profesional Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Elite di parlemen merasa jumawa sebagai pihak yang mengangkat Aswanto sebagai hakim. Pencabutan Hakim Aswanto dari jabatannya itu terjadi ketika produk kepentingan dari DPR tidak di-goalkan di MK.  

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement