Oleh : Yudha Manggala Putra, Jurnalis Republika.co.id
REPUBLIKA.CO.ID,-- Video viral anak berseragam pramuka menendang seorang nenek di Tapanuli menjadi suguhan miris menyambut Hari Anak Sedunia 20 November kemarin.
Rekaman menunjukkan si nenek sampai jatuh tersentak ke aspal sebelum menjauh. Teman pelaku yang merekam itu, langsung kabur sambil tertawa. Lainnya juga. Seolah itu hal menyenangkan.
Entah apa yang ada di pikiran para bocah tanggung tersebut. Sempatkah ada rasa kasihan pada korban. Atau bahkan secuil iba? Atau bagi mereka itu aksi wajar saja. Lucu-lucuan.
Mungkin mereka menganggap itu bagian dari budaya prank, yang belakangan dipaksa menjadi 'normal baru' oleh para kreator konten dan kita tonton di perangkat digital kita. Atau hal lain. Entahlah.
Tidak hanya mereka, di bagian daerah berbeda, pada hari sama, Sabtu (19/11/2022) kemarin, kita juga mendengar soal kabar perundungan sesama pelajar SMP satu sekolah di Kota Bandung.
Seorang siswa laki-laki memasangkan helm pada anak lain, lalu secara bergantian ia dan pelaku lain menendang kepala korban hingga akhirnya korban terjatuh.
Aksi tersebut terekam dalam sebuah video yang viral di Twitter. Sama seperti video pelajar menendang nenek, tindakan ini pun mendapat banyak kecaman dari netizen.
Dua kasus ini menunjukkan kekerasan oleh anak terus menjadi masalah serius di Indonesia. Kita tidak pernah berhenti mendengar kasus anak melakukan penganiayaan atau perundungan yang bikin geleng-geleng akal dan nurani.
Menurut catatan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) selama periode 2016-2020 saja, sebanyak 655 anak harus berhadapan dengan hukum karena menjadi pelaku kekerasan. Dari jumlah tersebut, 506 anak melakukan kekerasan fisik sementara 149 anak melakukan kekerasan psikis.
Menurut Katadata, jumlah anak yang berhadapan dengan hukum ini konsisten berada di atas 100 orang per tahun selama 2016-2019. Angkanya sempat turun menjadi 69 anak pada 2020. Rinciannya, 58 anak sebagai pelaku kekerasan fisik dan 11 anak pelaku kekerasan psikis.
Namun, seperti diakui KPAI, data pengaduan anak ini bagai fenomena gunung es. Artinya, jumlah tersebut hanya tampak di permukaan saja. Jumlah kejadian sebenarnya di lapangan diyakini lebih banyak. Namun tidak terlaporkan alias tidak terlihat. Dan itu mengkhawatirkan.
Bila merujuk pada American Academy of Child & Adolescent Psychiatry, ada banyak faktor penyebab anak bisa melakukan kekerasan. Salah satunya faktor eksternal. Mulai dari kemiskinan (faktor sosio ekonomi), kekerasan yang dialami sebelumnya, hingga paparan kekerasan di rumah atau di media (televisi, film, media sosial, internet dll) juga permainan video (games).
Harus diakui, terlalu mudah bagi kita menemukan konten kekerasan pada era internet 4G/5G ini. Mulai dari sekadar lucu-lucuan (seperti prank), hingga adegan berdarah-darah baik dalam games atau film.
Walau sudah banyak pemblokiran dan pelarangan, sebagian besar anak sekarang cerdas digital. Mereka bisa dengan mudah mengakses segala konten. Asal mereka mau. Cara dan tutorialnya pasti ada di internet.
Apakah kekerasan oleh anak di Tapanuli dan di Bandung disebabkan oleh konten di internet? Bisa iya dan bisa tidak.
Mengapa mereka bisa begitu enteng melakukan kekerasan, tentu butuh dikaji mendalam oleh mereka yang memiliki kompetensi di bidangnya seperti psikolog dan psikiater. Namun, tidak bisa dipungkiri, kita hidup pada masa saat perubahan terjadi begitu cepat.
Seiring dengan dunia yang berubah —ke arah lebih digital, lebih terglobalisasi, dan lebih beragam—kehidupan seseorang sebagai anak turut berubah.Orang tua (termasuk saya), pendidik, pemerintah, masyarakat butuh menyelaraskan diri dengan cepat. Karena melindungi anak (termasuk pelaku maupun korban kekerasan) adalah tugas kita bersama.
Anak adalah perhiasan dan kekayaan dunia bagi orang tuanya. Layaknya perhiasan dan kekayaan, anak diperlakukan, dijaga, bahkan disayang sebaik-baiknya oleh para orang tua. Anak juga amanah dan sekaligus cobaan. Karena itu, seperti menghadapi ujian, mari kita sungguh-sungguh belajar untuk mengatasinya sebaik mungkin.
Kasus kekerasan anak di atas bukti bahwa masih ada yang salah dan harus diperbaiki. Mari jadikan momentum Hari Anak Sedunia sebagai momen pembenahan di seluruh lapisan. Bagaimanapun anak adalah masa depan bangsa. Perhatian negara dan kita semua kepada anak-anak harus menjadi prioritas utama.