REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Agus Maulana*
Kemandirian ekonomi pesantren merupakan sesuatu yang diidamkan oleh seluruh pesantren. Hal ini didasarkan pada fakta bahwa mayoritas pesantren mengalami kesulitan dalam hal pendanaan operasional pendidikan, apalagi pengembangan infrastruktur pesantren.
Pendanaan pesantren selama ini didapatkan dari iuran para santri, penggalangan dana zakatm infaq shodaqoh, serta wakaf, sumbangan para pihak, maupun hasil usaha unit-unit usaha pondok. Pesantren tidak bisa berharap banyak dari iuran para santri.
Mayoritas pesantren mematok biaya pendidikan dan biaya hidup yang cukup rendah, kecuali beberapa boarding school yang menerapkan biaya diatas rata-rata. Sementara pengggalangan dana zakat infaq shodaqoh serta wakaf, masih belum optimal.
Hal itu sangat tergantung pada kapasitas kemampuan kiainya dalam memanfaatkan jaringan wali santri maupun jamaahnya, serta akses terhadap lembaga-lembaga wakaf. Sementara pemasukan dari hasil usaha pondok, akan sangat tergantung pada jumlah santri dan kemampuan pengelolaan potensi yang ada.
Potensi ekonomi pesantren dengan santri yang mencapai ribuan, akan sangat berbeda dengan pesantren yang hanya memiliki santri di bawah 500-an orang. Kemampuan pengelolaan potensi juga akan membedakan hasilnya, kendati pun mempunyai jumlah santri yang sama banyaknya.
Kemandirian ekonomi pesantren dapat dicapai dengan optimal, jika prasyaratnya dapat dipersiapkan dengan baik. Pertama, pesantren harus menurunkan egonya. Banyak pesantren yang menyikapi persoalan ekonomi dengan mengedepankan ego, bukan pertimbangan rasionalitas bisnis.
Sebagai contoh, sampai saat ini pesantren berlomba-lomba membuat produk air minum dalam kemasan (AMDK) dengan merek masing-masing, dan dengan membuat pabrik di pesantren masing-masing. Akibatnya, kapasitas produksi dan pabriknya dalam skala kecil.
Pesantren juga disibukan dengan urusan teknis mesin produksi yang terkadang menguras waktu dan biaya. Padahal, sekiranya pesantren-pesantren yang ada di wilayah tertentu, berkolaborasi dan bersinergi dengan membuat pabrik AMDK bersama dalam skala besar, tentunya nilai ekonomisnya akan optimal.
Kapasitas pabrik yang besar akan menjadikan harga produksi semakin murah dan bersaing di pasaran. Kalaupun masing-masing ingin memiliki merek atau brand sendiri-sendiri, itu sangat mudah dilakukan, dengan tetap dalam satu produksi. Dan masih banyak contoh-contoh lain yang bisa didapatkan dari realitas di lapangan.
Hal itu mustahil dapat dilakukan jika para pimpinan pesantren tidak menurunkan egonya masing-masing, membangun open mindset dalam bersinergi dan berkolaborasi. Prasyarat berikutnya adalah pesantren harus membuka diri untuk terus belajar kepada para ahli dan praktisi dalam bidang usaha.
Tidak merasa puas dengan kondisi dan pencapaian saat ini. Terus-menerus melakukan upgrade dan update terhadap berbagai perkembangan, baik teknologi, pengelolaan, maupun produk development.
Jika pesantren tidak membuka diri untuk update dan upgrade, maka bisnis dan produk yang dihasilkannya akan sulit bersaing di pasar luas. Hanya laku di internal pesantren.
Padahal pasar di luar lebih besar potensinya dibandingkan internal pondok. Demikian juga dengan standar pelayanan dan pengelolaan sebuah usaha. Kompetisinya semakin tidak mudah. Ketiga, pesantren harus berani mencoba pola atau model bisnis yang tepat dalam pengembangan usahanya.
Ada banyak model yang bisa diterapkan dan dikembangkan dalam bisnis. Tidak selalu pesantren harus membangun usaha tertentu dari nol. Tidak selalu pesantren harus melakukannya sendirian. Tidak selalu pesantren harus mengurusi bisnis dari produksi sampai marketingnya. Bisa menjalin kemitraan terhadap sebuah bisnis yang sudah teruji keandalannya.
Bisa juga pesantren menjadi investor bagi sebuah bisnis yang membutuhkan scale up. Bisa juga sharing market dengan produk tertentu, alih teknologi dan berbagai model bisnis lainnya.
Pesantren yang memiliki prasyarat-prasyarat di atas, akan lebih mudah dan optimal dalam pengembangan ekonomi pesantrennya
*Penulis adalah Ketua Umum Forum Bisnis (Forbis) IKPM Gontor