REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Uttiek Panji Astuti, Penulis Buku dan Traveller.
Laki-laki itu terus melangkah menuju selatan. Hatinya risau. Banyak hal berkecamuk dalam pikirannya. “Iki piye tho? Kok koyo ngene? –Ini bagaimana? Mengapa seperti ini?” gumamnya pelan pada diri sendiri.
Saat kakinya mulai lelah, ia berhenti di satu tempat, berzikir, shalat, bermunajat dan memohon petunjuk dari Allah. Hingga datanglah gurunya, Sunan Kalijaga, dan bertanya, “Ada apa, Nak Mas?”
Laki-laki itu tak segera menjawab. Namun Sang Guru terus mendesak hingga akhirnya keluarlah perkataan lirih, “Bagaimanapun saya manusia. Ketika diberi janji maka akan berharap. Ketika janji itu tak kunjung dipenuhi, tentu kecewa.”
Singkat cerita mengertilah Sang Guru, kalau ini soal tanah hutan Mentaok yang dijanjikan dua belas tahun lalu. Tanah perdikan yang akan diberikan oleh Sultan Hadiwijaya dari Kraton Pajang pada Ki Ageng Pemanahan setelah peristiwa kemenangan Jipang.
Sunan Kalijaga lalu menemui Sultan Hadiwijaya dan berkata, “Jangan dustai hatimu. Sudah dua belas tahun dia menunggu dan hutan Mentaok tak kunjung engkau berikan padanya.”
Ternyata Sultan Hadiwijaya memiliki kekhawatiran kalau menyerahkan tanah yang dijanjikan itu, maka ucapan Sunan Giri Prapen (putra Sunan Giri) akan menjadi nyata, “Dari tanah Mataram akan berdiri kerajaan besar yang rajanya menguasai seluruh Jawa.”
Akhirnya setelah berunding, hutan Mentaok yang dijanjikan diserahkan, dengan sebuah janji setia Ki Ageng Pemanahan tak akan memberontak atau mendirikan kerajaan di atas tanah itu.