
Oleh : Karta Raharja Ucu, Jurnalis Republika
REPUBLIKA.CO.ID, Langit Indonesia kembali ramai. Sejak 1 September 2025, deru mesin pesawat internasional kembali terdengar di Bandara Ahmad Yani Semarang, SM Badaruddin Palembang, dan Supadio Pontianak. Bukan sekadar jadwal penerbangan yang kembali dibuka, momen ini adalah simbol penting: pintu dunia sekali lagi mengarah ke banyak sudut Nusantara.
Pemerintah melalui Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 37 Tahun 2025, menetapkan 36 bandara umum sebagai bandara internasional. Sebuah langkah besar yang diambil di bawah arahan Presiden Prabowo, selaras dengan visi Asta Cita yang menekankan penguatan industri penerbangan nasional, dorongan pariwisata, hingga peningkatan daya saing Indonesia di panggung global.
Ini bukan sekadar kebijakan teknokratis. Di balik keputusan administratif itu, tersimpan peluang besar bagi daerah untuk menjemput kesejahteraan baru. Sebab, bandara internasional bukan hanya landasan pesawat; ia adalah pintu rezeki, jembatan peradaban, dan magnet pertumbuhan ekonomi.
Saat bandara internasional kembali beroperasi, arus wisatawan mancanegara pun bisa mengalir lebih deras ke pelosok tanah air. Inilah saatnya pemerintah daerah dan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif menyambutnya dengan kesiapan matang—dari sarana wisata hingga penginapan yang memadai.
Pembukaan ini membuka konektivitas global yang bisa menjadi pintu masuk pertumbuhan ekonomi daerah. Bayangkan Semarang yang kini tak lagi hanya mengandalkan penerbangan domestik, tetapi kembali menerima tamu dari Singapura, Kuala Lumpur, atau bahkan Tokyo. Atau Palembang yang tak hanya menunggu arus wisatawan saat Asian Games 2018, melainkan kini bisa menjadikan Sungai Musi dan Jembatan Ampera sebagai tujuan wisata rutin turis asing.
Penetapan status 36 bandara di Indonesia menjadi bandara internasional berarti membuka akses langsung dari dan ke luar negeri, memperlancar pergerakan orang dan barang. Hal paling penting penetapan ini menghubungkan daerah dengan pusat pertumbuhan dunia.
Konektivitas global bukan sekadar jalur terbang; ia membawa arus ide, investasi, dan peluang bisnis. Kehadiran bandara internasional akan memicu aktivitas ekonomi baru: mulai dari usaha kuliner lokal, kerajinan tangan, hingga transportasi darat. Seperti efek domino, satu kebijakan membuka ratusan lapangan kerja baru, baik di sektor formal seperti perhotelan, maupun sektor informal seperti pemandu wisata dan UMKM souvenir.
Penetapan ini pun menjadi pintu utama wisatawan mancanegara masuk ke Indonesia. Setiap bandara internasional adalah gerbang utama wisatawan. Selama ini, banyak wisatawan asing harus transit di Jakarta atau Bali sebelum menuju destinasi lain.
Kini, bayangkan turis mancanegara bisa langsung mendarat di Pontianak untuk mencicipi kuliner khas Kalimantan Barat atau menyusuri Tugu Khatulistiwa tanpa harus berpindah pesawat. Tentu saja efisiensi itu menambah daya tarik bagi wisatawan yang menghargai waktu dan kenyamanan.
Namun patut dicatat, gerbang yang megah saja tidak cukup. Pemerintah daerah harus mempersiapkan diri menghadapi masuknya tamu-tamu asing lewat gerbang wisatawan. Pemda harus memastikan ketersediaan sarana wisata yang informatif, transportasi yang aman dan terjangkau, serta penginapan yang sesuai standar internasional. Tanpa kesiapan itu, arus wisatawan yang masuk justru bisa membawa kekecewaan, alih-alih kesan mendalam.
Dengan naiknya status 36 bandara sebagai bandara internasional, pemerataan pembangunan pun tidak lagi terpusat di pulau Jawa. Seperti kita tahu, selama puluhan tahun pembangunan pariwisata dan infrastruktur kerap terpusat di Pulau Jawa. Penetapan 36 bandara internasional memberi kesempatan emas bagi daerah lain untuk keluar dari bayang-bayang ketimpangan.
Flores, Kalimantan, Sulawesi, Maluku—semua kini berpeluang tampil di panggung dunia. Pemerataan pembangunan bukan hanya jargon; dengan bandara internasional, arus modal, wisatawan, dan teknologi bisa mengalir lebih merata.
Namun sekali lagi, peluang yang bisa melesatkan perekonomian daerah itu menuntut keseriusan dari pemerintah daerah. Pemda tidak bisa hanya menunggu “durian runtuh”. Perlu rencana matang: pembenahan infrastruktur jalan, ketersediaan transportasi publik yang ramah turis, hingga promosi wisata yang kreatif. Tanpa sinergi, status bandara internasional hanya akan menjadi papan nama tanpa makna.