REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Prof Dr Agus Suradika, Pakar Pendidikan UMJ dan Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah DKI Jakarta
Pembunuhan enam laskar FPI di tol Jakarta-Cikampek KM 50 dan Brigadir J di Duren Tiga merupakan kejadian nyata di abad peradaban yang dikritik oleh Elias Canetti dalam bukunya Masse und Macht (Crowd and Power: massa dan kekuatan) yang terbit tahun 1960. Canetti, seorang novelis dan pemikir abad ke-20 yang memusatkan karyanya pada kekuasaan dan kematian ini menyatakan, ketika ratio manusia bertumbuh dalam peradaban yang sangat tinggi di abad ke-20, di mana modernisme yang kemudian berkembang ke postmodernisme, dan manusia sudah berada di tahapan puncak evolusi menjadi manusia sempurna dan telah membuktikan dirinya sebagai makhluk yang superrasional, Cenetti justru melihat masih adanya kecenderungan perilaku hewan di dalam diri manusia.
Boleh jadi, perilaku hewan yang dilakukan oleh manusia karena ia tidak dapat menggunakan akal sehat sebagai penuntun perilakunya, melainkan lebih didominasi oleh kekuatan hawa nafsunya. Dalam Alquran, perilaku ini ditegaskan sebagai perilaku dari orang-orang yang memosisikan keinginan (hawa nafsu) sebagai tuhannya (al-Furqon: 43).
Kritik Canetti sangat benar. Di abad 21 ini, di Indonesia, kita menyaksikan masih ada segelintir makhluk sempurna yang bernama manusia yang dengan kekuatan dan kekuasaannya membunuh manusia yang seharusnya mereka ayomi. Kekuatan dan kekuasaannya seperti tampak lebih didominasi oleh nafsu hewan. Membunuh sesama manusia dianggap sebagai sesuatu yang boleh dan biasa, padahal dengan kekuatan dan kekuasaannya mereka dapat melindungi dan menyejahterakan manusia yang dikuasainya.
Dua peritiwa itu: KM 50 dan Duren Tiga dapat dikatakan sebagai potret buruk hidden curriculum (kurikulum tersembunyi) pelajaran tentang polisi dan kemanusiaan yang tersaji secara vulgar di luar sekolah.
Philip W. Jackson dalam bukunya Life in Classroom (1968) mendefinisikan Kurikulum tersembunyi sebagai hal-hal yang di luar kurikulum fisik/formal yang memiliki dampak kepada murid, bahkan pada satu konteks dapat memberikan kesan yang lebih kuat kepada setiap murid. Sepaham dengan Jackson, dalam bahasa yang lain Jane Martin (1983) memaknai hidden curriculum sebagai hasil sampingan dari pendidikan dalam latar sekolah atau luar sekolah, khususnya hasil yang dipelajari, tetapi tidak secara tersurat dicantumkan sebagai tujuan pendidikan.