Oleh : Hiru Muhammad, Jurnalis Republika.co.id
REPUBLIKA.CO.ID, Tentunya pertanyaan itu telah membayangi pemikiran kalangan produsen kendaraan di Tanah Air dan mancenegara ketika memutuskan untuk merancang kendaraan listrik. Barangkali membuat kendaraan listrik yang dijual dengan harga terjangkau sama sulitnya dengan mengembangkan teknologi elektrifikasi kendaraan bermotor itu sendiri. Karena penentuan harga jual juga harus mengacu kepada tingkat kesulitan produksi dan distribusi atau rantai pasok produk.
Beberapa waktu yang lalu, Suzuki, salah satu produsen otomotif asal Jepang di Tanah Air memberanikan diri memperkenalkan kendaraan Suzuki All New Ertiga hybrid khusus untuk kelas Low MPV di Tanah Air. Kehadirannya yang dipatok di kisaran Rp.200 hingga Rp.300 jutaan seolah menjadi sebuah keberanian Suzuki khususnya dalam memproduksi kendaraan berpenggerak listrik yang dipadukan dengan bahan bakar untuk segmen menengah. Pasalnya selama ini, kendaraan berbasis penggerak listrik masih terkendala dengan harga bahan baku dan teknologi canggih yang disematkan. Hal ini diakui banyak kalangan industri otomotif yang membuat harga kendaraan berbasis penggerak listrik menjadi tidak kompetitif di pasar Tanah Air.
Harga yang ditawarkan umunya berkisar Rp 400 jutaan ke atas. Harga tersebut sesuai bagi segmen menengah ke atas. Padahal Menurut data Gaikindo, sekitar 25 persen konsumen otomotif Indonesia termasuk kelas MPV dan SUV. Di kelas MPV tersebut masih terbagi lagi ke dalam low MPV hingga kelas premium. Karakter orang Indonesia yang kerap bepergian bersama keluarga dan membawa barang bawaan, membuat kendaraan jenis MPV ini menjadi favorit. Bahkan tidak sedikit yang membeli MPV sebagai kendaraan pertama atau beralih sebagai kendaraan kedua mereka.
Hal ini yang membuat pasar MPV terus berkembang.
Namun, semangat mengembangkan ke arah elektrifikasi kendaraan LMPV yang terjangkau masih menemui banyak tantangan. Terutama dengan bahan baku pembuatan sistem penggerak elektrifikasi yang masih mahal, khususnya baterai lithium. Hal ini tidak mampu memenuhi nilai ekonomi dari kendaraan jenis LMPV. Tak mengherankan bila akhirnya gagasan pengembangan industri kendaraan listrik di Tanah Air, belum mampu menyentuh segmen kelas menegah ke bawah karena kendala tersebut.
Hal ini tentunya berdampak pada tersendatnya sosialisasi kendaraan listrik bagi masyarakat luas. Sosisalisasi harus terbentur pada harga jual atau tidak kompetitifnya harga kendaraan listrik di pasaran. Sosialisasi hanya berkutat pada wacana, pameran dan diskusi para prmerhati kendaraan listrik.
Namun, adanya produsen otomotif yang berencana menawarkan kendaraan listrik ukuran kecil yang berkapasitas 4 orang, seperti Wuling Air ev juga menjadi sinyal positif. Kabarnya harga yang ditawarkan Wuling Air Ev di kisaran Rp.250 hingga Rp.300 jutaan, yang merupakan segmen pasar otomotif terbesar di Indonesia. Meski pasar otomotif terbesar masih dikuasai MPV dan SUV, namun langkah Suzuki dan Wuling patut didukung berbagai kalangan.
Munculnya gagasan pemerintah membangun industri kendaraan listrik di Indonesia menjadi kabar baik bagi industri otomotif Tanah Air. Namun, mewujudkan gagasan tersebut tidaklah mudah karena selain infrastruktur dan bahan baku pembuatan baterei kendara listrik, juga sosialisasi aktif yang terus digencarkan ke khalayak harus diimbangi dengan penjualan kendaraan listrik yang terjangkau masyarakat luas. Semoga kendaraan listrik yang diciptakan tidak hanya ramah lingkungan, tapi juga ramah kantong.
Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko beberapa waktu lalu mengatakan pemerintah saat ini sedang menyiapkan instruksi presiden (inpres) untuk percepatan penggunaan kendaraan listrik, khususnya di lingkungan pemerintah. Adanya ajang Periklindo Electric Vehicle Show (PEVS) 2022 yang akan berlangsung pada 22-31 Juli 2022 di JIExpo Kemayoran, diharapkan menjadi peluang untuk terus memajukan industri kendaraan listrik. Termasuk kemungkinan menggunakan merek sendiri.