Oleh : Esthi Maharani, Jurnalis Republika.co.id
REPUBLIKA.CO.ID, Ketika pertama kali mendengar kabar Presiden Joko Widodo akan ke Ukraina, saya sedikit terkejut. Lebih terkejut lagi, kunjungan itu akan berlanjut ke Rusia. Waktu itu, saya berpikir “berani sekali Jokowi ke negara yang sedang berkonflik”.
Heroik sekali bukan.
Tapi, saya sudah belajar untuk tidak memiliki ekspektasi terlalu tinggi pada pemerintah. Takut kecewa dan patah hati hehehe….
Informasi yang awalnya dikeluarkan semirahasia karena masih belum pasti dan mungkin sedikit ragu-ragu dan takut-takut, akhirnya dibumbui macam-macam. Dari sebelum hingga sesudah kunjungan, ada berbagai teori sekaligus harapan yang mengiringi perjalanan Jokowi.
Misalnya saja penyebutan sebagai negara asia pertama yang melakukan lawatan ke Ukraina dan Rusia, Jokowi membawa misi perdamaian, nobel perdamaian di tangan, hingga makna dari panjang pendeknya meja pertemuan.
Kunjungan Jokowi tidak bisa lepas dari konteks presidensi Indonesia dalam KTT G20. Kasarannya, Jokowi ‘hanya’ membawa undangan untuk kedua negara agar hadir dalam KTT G20 di Bali. Indonesia memiliki tanggungjawab agar pelaksanaan penyelenggaraan G20 November 2022 mendatang tetap berjalan dan diterima banyak negara anggotanya.
Apalagi setelah ancaman yang dilontarkan beberapa negara anggota yang menolak kehadiran Putin dalam forum tersebut. Indonesia pun berkompromi dengan turut mengundang Ukraina meski negara tersebut bukan negara anggota G20. Sebagai presidensi KTT G20, Indonesia memiliki hak untuk mengundang negara lain sebagai tamu undangan.
Harus disadari bahwa perang Rusia-Ukraina tidak bisa serta merta berhenti karena ada latar pergolakan geopolitik yang panjang. Misi perdamaian yang ‘diemban’ Jokowi adalah misi aji mumpung dan sebuah langkah kecil yang mudah-mudahan bisa memberikan pengaruh. Jadi ya mumpung jadi presidensi KTT G20, siapa tahu bisa mendudukkan kedua kepala negara. Namanya juga usaha. Sekecil apapun, help is help.
Meski begitu, ada banyak cerita dan pelajaran berharga dari kunjungan Jokowi ke Ukraina dan Rusia. Di Ukraina, Jokowi –seperti biasa—blusukan. Kali ini blusukan ke puing-puing bekas serangan Rusia. Merasa sedih, Jokowi berharap perang segera berakhir.
“Kedatangan menemui Presiden Volodymyr Zelenskyy adalah wujud kepedulian masyarakat Indonesia terhadap situasi di Ukraina. Spirit perdamaian jangan pernah luntur. Saya menawarkan diri untuk membawa pesan dari Presiden Zelenskyy untuk Presiden Putin yang akan saya kunjungi pula” kata Jokowi lewat Twitternya.
Dari twit tersebut, yang perlu digarisbawahi adalah ‘Jokowi menawarkan diri untuk membawa pesan dari Presiden Ukraina untuk Presiden Rusia’. Celakanya, setelah kunjungan ke Rusia, Jokowi justru menyebutkan secara gamblang bahwa ‘telah menyampaikan pesan Presiden Zelenskyy untuk Presiden Putin’.
“Saya telah bertemu dan berbicara dengan Presiden Rusia Vladimir Putin, Kamis sore di Istana Kremlin. Saya telah menyampaikan pesan dari Presiden Zelenskyy untuk Presiden Putin dan menyatakan kesiapan saya untuk menjadi jembatan komunikasi antara dua pemimpin tersebut” kata Jokowi lewat Twitternya.
Ini langsung dibantah oleh Ukraina dan menegaskan negaranya tidak memerlukan perpanjangan tangan untuk menyampaikan pesan langsung Presiden Ukraina kepada Presiden Rusia. Toh selama ini, sejak operasi militer khusus terjadi hampir lima bulan, Zelenskyy sendiri yang berkali-kali muncul di berbagai forum dunia dan berharap agar bisa bertemu langsung dengan Putin untuk membahas konflik yang terjadi. Kalaupun memang ada pesan yang disampaikan –tertulis atau tidak tertulis-- bukankah lebih baik tidak dipublikasikan demi menjaga marwah kedua negara?
Sementara pertemuan Jokowi dan Putin memberikan pelajaran sejarah yang bisa membuat Indonesia mengerem langkah. Tanpa menyinggung soal perang dan tanpa basa-basi, Putin langsung memberikan peringatan halus (atau tidak halus?) kepada Jokowi. Di awal pidatonya, Putin mengungkit jasa Rusia terhadap Indonesia di masa-masa awal kemerdekaan Indonesia.
"Izinkan saya mengingatkan Anda bahwa negara kita membantu Indonesia membangun kenegaraan dan memperkuat posisi republik muda di kancah internasional," katanya dalam sambutannya bersama Jokowi, dikutip Sabtu (2/7/2022).
Dalam catatan sejarah, Rusia pada tahun 1945 sampai 1950 mendukung dan membantu Indonesia untuk mencari pengakuan dunia internasional atas kemerdekaan dan kedaulatan bangsa Indonesia. Rusia –kala itu Uni Soviet-- merupakan salah satu negara yang menyambut baik lahirnya Indonesia sebagai negara merdeka dan Uni Soviet mengecam segala bentuk kolonialisme.
"Di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Uni Soviet berkali-kali mengangkat masalah Indonesia dan menuntut PBB untuk menghentikan agresi militer Belanda, serta menghimbau dunia internasional untuk mengakui Indonesia sebagai negara yang merdeka," tulis catatan dalam laman resmi Kementerian Luar Negeri.
Pada 1956-1962 menjadi tahun puncak kemesraan hubungan Indonesia dan Rusia. Hal ini dibuktikan dengan saling berkunjung yang membuahkan kesepakatan-kesepakatan dan proyek-proyek di berbagai bidang. Misalnya saja pembangunan Rumah Sakit Persahabatan, stadion Gelora Bung Karno, dan Hotel Indonesia. Belum lagi pembangunan jalan, jembatan dan lapangan terbang di sejumlah daerah, pembangunan pabrik baja dan fasilitas-fasilitas lainnya.
Uni Soviet juga merupakan negara yang berperan besar dalam masalah pembebasan Irian Barat. Kala itu, Indonesia diberikan seluruh peralatan militer Uni Soviet untuk mengatasi masalah tersebut. Rusia setelah itu menjadi sumber senjata dan perangkat keras militer yang signifikan bagi Indonesia. Hingga kini, banyak Alutsista Indonesia berasal dari Rusia.
Jadi, kunjungan Jokowi ke Ukraina dan Rusia pada dasarnya membawa pekerjaan rumah bagi bangsa sendiri.