Oleh : Ichsan Emrald Alamsyah, Redaktur Republika.co.id
REPUBLIKA.CO.ID, Hingga akhir 2021, startup di negeri ini terus tumbuh seperti jamur di musim hujan. Bahkan hingga hari ini, startup di Indonesia terus lahir seiring meratanya teknologi informasi dan jaringan internet hingga pelosok daerah.
Bahkan berdasarkan data startup rangking, Indonesia menduduki peringkat kelima dengan total mencapai 2.346 perusahaan rintisan hingga April 2022. Indonesia, ada di bawah Amerika Serikat, Kanada, India dan Inggris.
Beberapa startup diantaranya, yang bisa disebut unicron, memiliki ukuran yang bahkan bisa menjangkau negara tetangga di Asia Tenggara.
Bahkan Jakarta ibu kota negara menempati urutan ketiga, di bawah Mumbai dan Kopenhagen, sebagai lokasi ekosistem startup yang sedang berkembang.
Sayangnya bulan madu kebangkitan startup tanah air mulai perlahan berhenti tahun ini. Alasannya jelas, terjadi gelombang pemutusan hubungan kerja alias PHK yang terjadi pada perusahaan rintisan dan ecommerce tanah air.
Perusahaan teknologi mulai melakukan pemecatan seperti Zenius, LinkAja, JD.ID dan sebelumnya ada Fabelio dan Tanihub. Kondisi ini juga terjadi pusat-pusat startup dunia seperti Amerika Serikat dan India.
Seperti Netfix perusahaan yang berbasis di AmerikaSerikat (AS) memecat 150 karyawannya. Hal tersebut dilakukan demi memotong biaya pengeluaran menyusul penurunan pelanggan.
Kondisi ini ditengarai sebagai bubble burst, istilah dalam ekonomi untuk menyebut kenaikan atau pertumbuhan ekonomi yang begitu cepat namun juga memunculkan kejatuhan yang cepat pula.
Dikutip dari Investopedia, bubble burst sebenarnya adalah lingkaran dalam ekonomi (economic circle) dengan ciri khas peningkatan luar biasa khususnya dari segi aset. Hanya saja inflasi uang meningkat justru menyebabkan kontraksi yang menyebabkan penurunan cepat nilai sehingga terjadi 'crash'.
Menurut founder dan Co-Managing Partner Northstar Group Patrick Walujo, PHK massal pada startup tanah air mungkon terjadi karena kondisi keuangan yang sulit. Sayangnya pendanaan bagi startup saat ini cenderung sulit.
Hal ini terjadi karena investor yang mulai menahan investasinya. Sementara, ungkap Patrick Walujo, cara start up agar bisa survive maka salah satu yang dilakukan adalah penghematan. Sehingga langkah PHK terpaksa harus dilakukan oleh perusahaan start up. "Jadi untuk bisa survive, kalau mereka uangnya itu cukup mesti melakukan penghematan. Mungkin langkah itu harus mereka lakukan," katanya.
Apalagi berdasarkan catatan Republika saat ini terjadi penurunan saham perusahaan teknologi. Meski tidak berpengaruh langsung namun hal ini menandakan terjadi penurunan minat bagi investor untuk berinvestasi di perusahaan teknologi.
Hanya saja PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (Telkom) mengaku masih akan berinvestasi pada perusahaan rintisan atau startup di tengah banyaknya yang melakukan restrukturisasi usaha termasuk pengurangan jumlah karyawan.
Namun menurut Direktur Utama Telkom, Ririek Adriansyah Telkom akan lebih hati-hati dalam berinvestasi di perusahaan rintisan. Ririek mengatakan, dalam melakukan investasi di-startup, Telkom tidak hanya mencari keuntungan, tetapi juga mencari peluang sinergi yang akan diperoleh antara startup tersebut dan Telkom Group yakni Telkom dan seluruh anak usaha. "Dengan begitu kalaupun terjadi naik turun harga saham kami yakin masih bisa monetizing melalui sinergi yang ada," ujarnya.
Sementara itu, Direktur Strategic Portofolio Telkom, Budi Setyawan Wijaya mengatakan investasi Telkom pada startup akan dilakukan dengan sangat selektif. Budi menyebut, dari sisi value secara multiple pada tahun 2021 investasi Telkom di startup dinilai cukup menguntungkan dengan realized gain mencapai Rp 140 miliar.