REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika
Soal isu agama (atau SARA: suku, agama, ras) di tanah air tercinta ini soal sensitif alias sangat serius. Maka, janganlah mencoba bermain-main soal ini. Di zaman kolonial pemerintah penjajahan kala itu bertindak sangat tegas bahkan keras ketika muncul soal ini. Pada kasus 1920-an misalnya meletuslah isu sara di Surabaya. Kalangan umat Islam membuat aksi besar-besaran memprotesnya. Kalau dipadankan mirip aksi 212 yang terjadi beberapa tahun silam.
Kala itu, pada bulan Februari 1920, soal Sara itu berimplikasi merebaknya aksi kekerasan. Bahkan sudah terjadi pembakaran tempat ibadah. Suku tertentu jadi sasaran amuk massa. Untunglah saat itu 'Pak Tjokro' sebagai pemimpin Islam turun tangan. Dia berusaha keras untuk menentramkan suasana. Aparat keamanan pemerintah kolonial saat itu pun bertindak sangat serius. Banyak orang ditangkap dan dimasukkan ke bui.
Bahkan, meskipun dianggap rezim sekuler di zaman Orde Baru, Presiden Soeharto tak pernah mau mentoleransi soal isu sara. Semenjak awal kekuasaannya dia sudah bertindak tegas bila muncul soal SARA. Pak Harto menjalankan aturan dengan melaksanakan Peraturan Presiden (Pepres) N0 1 tahun 1965 yang dibuat oleh Presiden Soekarno. Isinya aturan hukum ini adalah tentang pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama. Perpres ini kemudian menetapkan menambahkan pasal penodaan agama di dalam bab yang mengatur tentang ketertiban umum, Pasal 156 a KUHP. Tujuannya diantaranya adalah untuk menjaga tertib sosial di masyarakat.
Tapi pertanyaannya kemudian: Apakah sinisme terhadap agama –di antaranya Islam-- menjadi berhenti? Jawabannya ternyata tidak! Sinisme (bahkan bisa disebut phobia) terus berlanjut.
Sebagai ujian pertama ‘keampuhan’ aturan hukum ini terjadi pada bulan Agustus 1968 atau justru di masa awal Orde Baru. Majalah sastra termuka yang diasuh HB Jassin --Majalah Sastra, Th. VI. No. 8, Edisi Agustus 1968 – mempublikasikan cermin kontroversial ‘Langit Makin Mendung’ karya sesorang yang menyebut dirinya sebagai Ki Panji Kusmin.
Saat itu kontroversi pun meledak hebat. Umat Islam saat itu merasa tersinggung dengan cerpen tersebut yang dianggap menghina Islam.
Baca juga : Seusai Dukung Bahar Bin Smith Dipenjara, Ferdinand Kini Ikut Masuk Sel