Oleh : Ratna Puspita, Jurnalis Republika.co.id
REPUBLIKA.CO.ID, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Anwar Makarim menyebutkan, ada tiga dosa besar di dunia pendidikan, yakni intoleransi, perundungan, dan kekerasan seksual. Nadiem mengatakan, Kemendikbudristek berupaya menghapus tiga bosa tersebut untuk menciptakan perasaan aman peserta didik dan para pendidik.
Khusus kekerasan seksual, Nadiem menerbitkan Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi. Penerbitan ini menuai pro dan kontra.
Pihak yang kontra dengan aturan ini seperti perwakilan dari Kongres Pemuda Indonesia, Pitra Romadoni Nasution, mengirimkan somasi kepada Nadiem. Somasi tersebut menitikberatkan pada peninjauan ulang atas frasa "persetujuan korban" yang ada pada pasal 5 peraturan tersebut.
Terkait pro dan kontra ini, Nadiem menyambangi PBNU. Ia memberi klarifikasi sekaligus meminta masukan sebagai bahan penyempurnaan Permendikbud PPKS.
Baca juga : Nadiem akan Perbanyak Sowan Bahas Permendikbud PPKS
Namun, saya tidak hendak masuk ke dalam pro dan kontra terhadap Permendikbud PPKS dari para bapak-bapak yang beredar di media massa atau media sosial. Hal yang menarik perhatian saya, yakni kehadiran Permendikbud PPKS ini telah membuka selubung peristiwa kekerasan seksual di kampus.
Kekerasan seksual di kampus yang selama ini hanya menjadi perbincangan antarmahasiswa, dan antardosen, kini masuk ke ruang publik. Kekerasan seksual yang terjadi di antaranya terkait relasi dosen dan mahasiswa.
Dalam relasi ini, mahasiswa tentu sebagai pihak yang kalah dan dosen memiliki kekuasaan lebih tinggi. Di ruang kelas, dosen adalah 'tuhan kecil' karena ia menentukan mana yang benar dan mana yang salah serta konversi benar dan salah itu ke nilai mata kuliah.
Permendikbud PPKS ini telah mendorong korban yang berada dalam relasi tidak seimbang itu bersuara. Seorang korban kekerasan seksual menggunakan media sosial untuk menyuarakan kekerasan seksual yang dialaminya mulai dari gurauan soal alat kelamin hingga ajakan berhubungan intim.
Seorang guru besar di kampus ternama di Depok, Jawa Barat, juga disebut melakukan kekerasan seksual selama bertahun-tahun. Direktur LBH/YLBHI Bali Ni Kadek Vany Primaliraning menyebutkan, ada 42 kasus kekerasan seksual yang terjadi di Universitas Udayana.
Baca juga : Sambangi PBNU, Nadiem Minta Masukan untuk Permendikbud PPKS
Data tersebut diperoleh ketika LBH Bali bersama Mahasiswa Unud membuka posko pengaduan bersama mahasiswa Unud pada akhir tahun 2020. Seperti dilaporkan oleh Antara, Rektor Universitas Udayana, Bali, Prof. I Nyoman Gde Antara telah menyikapi temuan LBH Bali.
Saat ini, Unud juga membentuk satuan tugas khusus untuk mencegah dan menangani kasus pelecehan seksual di lingkungan kampus. Pemberntukan ini merupakan bagian dari langkah Unud menindaklanjuti penerbitan Permendikbud PPKS.
Anggota satgas itu, yakni dosen, mahasiswa, dan pegawai universitas yang lolos seleksi. Tugas satgas, yakni mensosialisasikan bahwa akan ada sanksi berat bagi pelaku supaya dia berpikir dan menghindari hal-hal untuk melakukan itu.
Kedua, mendorong korban ini agar mau melapor. Satuan tugas juga akan mendampingi korban pelecehan seksual, mengawal proses hukum terkait kasus kekerasan seksual di kampus, serta menyampaikan pelaporan mengenai kasus pelecehan dan kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan kampus.
Baca juga : Sikap Ilumni FH Unpar Terhadap Permendikbud PPKS
Komisioner Komnas Perempuan Maria Ulfah Anshor merekomendasikan perguruan tinggi me untuk membuat tim yang menangani kasus kekerasan seksual berbasis gender di lingkungan kampus. Tim tersebut bertugas memastikan korban kekerasan seksual di lingkungan kampus memperoleh perlindungan yang komprehensif.
Selain itu, dia berharap mereka mampu menyediakan crisis center yang bersistem rujukan. Menilik kasus kekerasan seksual dan tugas satgas di Unud, kehadiran aturan yang mencegah kekerasan seksual di kampus menjadi sangat penting.