Oleh : Bilal Ramadhan, Redaktur Republika.co.id
REPUBLIKA.CO.ID, Dalam sebulan terakhir, pemberitaan terkait nama Presiden Turki pertama, Mustafa Kemal Ataturk yang diusulkan menjadi nama salah satu jalan di DKI Jakarta ramai diperbincangkan. Pro dan kontra terkait pantaskah sosok nama ini menjadi nama jalan di Jakarta bermunculan.
Kalau ditilik dari sejarahnya, Ataturk merupakan pencetus negara Turki yang kemudian dia disebut sebagai ‘Bapak Turki’. Akan tetapi, Ataturk pula yang dikenal mengakhiri Kesultanan Ustmani atau dunia barat lebih mengenalnya dengan Kesultanan Ottoman.
Penghapusan kesultanan Islam tersebut tak hanya ditentang oleh warga Turki sendiri, namun juga negara lain seperti Mesir dan India. Hal ini disebabkan muslim di India telah memberikan dukungan keuangan kepada Kemal.
Kebijakan-kebijakan sekuler mulai didengungkan Ataturk di Turki. Agama-agama resmi dan popular diserang. Pengadilan agama pun disingkirkan. Sekolah Islam dihapuskan dan sebagai gantinya, sistem pendidikan sekuler wajib digunakan di seluruh negeri.
Sejarawan Islam Universitas Indonesia Dr Tiar Anwar Bachtiar pun menolak adanya usulan penggunaan nama Ataturk. Kalau usulan nama Ataturk sebagai balasan atas nama jalan Ahmed Soekarno di Turki, mungkin Pemerintah Turki bisa mencari tokoh lain yang lebih netral. Seperti Sultan Selim atau Muhammad Al Fatih.
Baca juga : Chandra yang Doakan Aceh Kena Tsunami Akhirnya Minta Maaf
Karena kedua nama ini dinilai lebih netral untuk masyarakat Muslim di Indonesia. Tiar menyebut kedua nama itu juga lebih pantas dibandingkan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan yang dinilai terlalu tendesius. Pemerintah Indonesia juga bisa menegosiasikan untuk meminta Pemerintah Turki untuk mengganti nama Ataturk.
Dubes RI untuk Turki Lalu Muhamad Iqbal menjelaskan, usulan nama Jalan Ataturk di Jakarta karena Ataturk dianggap sebagai pahlawan oleh bangsa dan rakyat Turki. Ataturk, kata Iqbal, termasuk menjadikan Turki menjadi negara sekuler sebagai revisi atas kemerosotan wibawa, pengaruh, dan sikap kesultanan yang jauh dari nilai-nilai Islam.
Menurut Iqbal, Ataturk juga dianggap sebagai pembebas Turki dari cengkeraman kekuatan Barat yang ingin menguasai bagian-bagian negara Turki sekarang, lewat Perjanjian Sevres di Prancis pada 10 Agustus 1920, yang menyatakan menerima kekalahan Kesultanan Utsmaniyah dalam Perang Dunia I kepada sekutu, dengan memimpin perlawanan. "Semua mengakui jasanya sebagai pendiri Republik Turki, bahkan fotonya masih dipajang di gedung dan lembaga pemerintahan," tutur Iqbal.
Di tengah pro dan kontra usulan nama Ataturk, kini juga ramai usulan tentang penggunaan nama mantan gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin untuk menjadi jalan di DKI Jakarta. Usulan ini berawal dari Ketua DPRD Jakarta Prasetio Edi Marsudi yang menagih Anies terkait Ali Sadikin jadi nama jalan. Lantaran rencana ini belum juga kunjung dijalankan sampai sekarang.
Menurut politikus PDI Perjuangan itu, Pemprov DKI Jakarta harusnya lebih mengetahui dan dapat mengkaji mana sosok yang layak untuk dikenang dan pantas dijadikan nama jalan. Ali Sadikin jelas-jelas sosok dan tokoh berjasa buat Jakarta.
Usulan penamaan Jalan Kebon Sirih, Gambir, Jakarta Pusat menjadi Ali Sadikin pun merupakan keputusan dari rapat paripurna. “Tapi mana, sampai sekarang belum juga ada keputusan untuk Peraturan Gubernur," kata Prasetio.
Adapun Jalan Kebon Sirih membentang dari perempatan Jalan Abdul Muis hingga perempatan Jalan Menteng Raya, seberang Tugu Tani, Jakarta Pusat. Selain itu, untuk mengenang jasa-jasa Gubernur DKI Jakarta di tahun 1966 itu, Pras juga mengusulkan agar nama Ali Sadikin dapat diabadikan pada Gedung Blok G yang ada di lingkungan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dengan nama Graha Ali Sadikin, Pendopo Ali Sadikin, atau Beranda Ali Sadikin.
Baca juga : Alasan Tes PCR Wajib Bagi Penumpang Pesawat
Ali Sadikin ditunjuk sebagai Gubernur DKI Jakarta oleh Presiden Soekarno pada 1966. Dia menjabat sebagai gubernur selama 11 tahun. Selama kepemimpinannya, Jakarta memiliki perkembangan pembangunan yang sangat pesat.
Sebut saja ada Taman Ismail Marzuki (TIM), Kebun Binatang Ragunan, Proyek Senen, Taman Impian Jaya Ancol, Taman Ria Monas, Taman Ria Remaja, kota satelit Pluit di Jakarta Utara dan pelestarian budaya Betawi di kawasan Condet. Ali juga yang mencetuskan pesta rakyat di Pekan Raya Jakarta (PRJ) pada tiap hari ulang tahun kota Jakarta yaitu 22 Juni.
Bersamaan dengan itu berbagai aspek budaya Betawi dihidupkan kembali, seperti kerak telor, ondel-ondel, lenong dan topeng Betawi. Di bawah kepimpinanan Ali, Jakarta berkali-kali menjadi tuan rumah Pekan Olahraga Nasional (PON) yang mengantarkan kontingen DKI Jakarta menjadi juara umum berkali-kali.
Namun sosok Ali Sadikin juga tak kalah kontroversialnya. Ali juga membuat kebijakan yang juga banyak ditentang seperti mengembangkan hiburan malam dengan berbagai klab malam, mengizinkan diselenggarakannya perjudian di Jakarta dengan memungut pajaknya untuk pembangunan kota, serta membangun kompleks Kramat Tunggak di Jakarta Utara sebagai lokalisasi.
Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria juga menyebutkan usulan nama ruas jalan mantan Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin segera ditindaklanjuti untuk diteruskan. Riza menyebut usulan lokasi Jalan Kebon Sirih, Jakarta Pusat diganti menjadi Jalan Ali Sadikin, yang berada di depan Gedung DPRD DKI Jakarta.
Dari segi pentingnya usulan dua nama tersebut, nama Ali Sadikin mungkin yang paling tepat untuk disandingkan menjadi nama jalan di Jakarta. Prestasi yang ditorehkan Ali Sadikin pun diakui banyak pihak. Bahkan cenderung tidak ada penolakan dengan adanya usulan nama tersebut.
Baca juga : Presiden Jokowi Khawatir Pembentukan Aliansi AUKUS
Sedangkan untuk nama Ataturk, baiknya Pemerintah Indonesia bisa menegosiasikan untuk memberi nama tokoh lain di Turki yang lebih netral. Win-win solution, Indonesia tetap memakai nama tokoh Turki dan menjaga hubungan bilateral kedua negara, Turki pun tetap memakai nama Ahmed Sukarno yang kemungkinan tidak ada penolakan di negaranya.
Jadi pilih nama Ali Sadikin atau Ataturk?