Oleh : Reiny Dwinanda, Jurnalis Republika.co.id
REPUBLIKA.CO.ID, Pandemi Covid-19 telah membuat sebagian orang menghentikan kebiasaan merokok. Risiko untuk kena infeksi SARS-Cov-2 parah menjadi faktor pendorong utamanya.
Di samping itu, merosotnya penghasilan juga turut berperan dalam mengubah pola konsumsi rokok. Berdasarkan penelitian terbaru di China yang merupakan negara pertama terdampak Covid-19 sekaligus negara dengan jumlah perokok terbanyak di dunia, jumlah rokok yang disulut warganya berkurang. Mereka kemudian merasa lebih puas dengan kesehatan fisik dan mentalnya.
Di Indonesia, kondisinya lain lagi. Peneliti Pusat Kajian Jaminan Sosial (PKJS) Universitas Indonesia justru menemukan bahwa orang tak mengurangi konsumsi rokok selama pandemi Covid-19. Mereka hanya menggantinya ke merek yang lebih murah.
Memang, tidak semua orang bisa dengan mudah meninggalkan kebiasaan merokok. Saat sebagian perokok melakukannya berbekal tekad kuat saja, sebagian lain butuh bantuan profesional.
Penelitian di China itu mengungkap, pria lebih sukar berhenti merokok. Mereka yang sudah lama merokok dan tinggal di daerah urban juga cenderung kurang mampu meninggalkan kebiasaannya.
Sementara itu, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah merekomendasikan agar tiap negara melarang merokok tembakau, vape, maupun sisha di dalam dan luar ruang publik dan tempat publik lainnya yang memungkinkan demi kesehatan masyarakat. Pelarangan secara total terhadap segala bentuk rokok itu harus diberlakukan di seluruh fasilitas kesehatan, kantor pemerintah, bangunan publik, restoran dan kafe, sekolah dan fasilitas pendidikan, sarana olahraga, transportasi umum, dan perkantoran.
Menurut WHO, di tengah pelonggaran aturan pembatasan kegiatan masyarakat terkait pandemi, seharusnya tidak ada area merokok yang disediakan. Oxfordshire di Inggris sudah mengadopsi larangan merokok di dalam maupun luar ruang sejak Juni lalu sebagai upaya menjadi wilayah bebas asap rokok pada 2025.
Bisakah Jakarta seperti itu? Juni lalu, Anies Baswedan mengeluarkan Seruan Gubernur Nomor 8 Tahun 2021 terkait pembinaan kawasan dilarang merokok. Isinya memuat tiga ajakan bagi pengelola gedung di DKI Jakarta.
Pertama, memasang tanda larangan merokok pada setiap pintu masuk dan lokasi yang mudah diketahui oleh setiap orang di daerah gedung dan memastikan tidak ada yang merokok di kawasan dilarang merokok. Kedua, tidak menyediakan asbak dan tempat pembuangan puntung rokok lainnya pada kawasan dilarang merokok.
Ketiga, tidak memasang reklame rokok atau zat aditif baik di dalam ruangan maupun di luar ruangan, termasuk memajang kemasan atau bungkus rokok di tempat penjualan. Semudah apa implementasinya?
Poin pertama paling mudah untuk dijalankan. Tinggal tempel stiker larangan merokok.
Poin kedua mulai agak sulit diikuti. Ada saja tempat publik yang berdamai dengan perokok, terlebih pengawasannya pun tidak ketat.
Poin ketiga sudah marak diimplementasikan, terutama di minimarket.
Jika merujuk pada impian besar Jakarta sebagai kota bebas asap rokok, sepertinya itu langkah awal yang baik. Utamanya untuk menghindari anak dan remaja terpicu untuk memulai merokok.
Sejalan dengan itu, anak dan remaja perlu panutan, perlu contoh dari orang terdekatnya dan masyarakat di sekelilingnya. Ini tentunya butuh kepedulian orang banyak untuk saling mengingatkan sekaligus kontrol sosial.
Survei Universitas Indonesia tersebut mengungkap, para ayah mayoritas kadang-kadang masih merokok di dekat anggota keluarganya saat work from home. Sebagian besar punya anak usia balita pula.
Di keluarga kami, alhamdulillah tidak ada yang merokok. Namun, saat sesekali harus keluar rumah naik taksi daring maupun konvensional, kami masih sering terganggu bau dan abu rokok. Sepertinya, para pengemudi baru mematikan rokoknya setelah dekat titik penjemputan.
Di mal dan hotel, perubahan perilaku merokok juga tidak tampak saat pelonggaran pembatasan kegiatan masyarakat. Area merokok kerap kali berdekatan dengan pintu masuk sehingga asapnya ikut terbawa angin saat pengunjung baru turun di lobi, seperti di beberapa mal di Jakarta Selatan.
Lalu, area kolam renang hotel pun menjadi kawasan boleh merokok. Anak saya pernah mempertanyakan aturan yang kontradiktif saat menginap di salah satu hotel di Jakarta Pusat: wajib mengenakan masker di area kolam renang, tapi mengapa boleh merokok?
Asap rokoknya bahkan terbawa angin hingga terhirup juga saat anak-anak berenang. Padahal, menurut penelitian, zat berbahaya dari rokok juga bisa terhirup sejauh asapnya masih tercium.
Bagaimana dengan kafe dan restoran? Ahad (10/10) lalu, kami masih mendapati pengunjung mal di Jakarta Selatan leluasa mengebulkan asap rokoknya saat duduk di area muka restoran. Otomatis orang yang melintas juga ikut terpapar asap rokok.
Mengubah kebiasaan, apalagi kecanduan, memang butuh waktu. Seperti di county Oxfordshire, kota perlu mendukung orang agar merasa lebih berdaya dalam meninggalkan kebiasaannya dengan menciptakan lingkungan yang kondusif untuk tidak merokok dan tak menginspirasi perokok baru, terutama anak-anak.
Jakarta juga punya potensi yang sama. Tengok saja inisiatif warga di beberapa rukun tetangga (RT) di RW 06 Kelurahan Kayu Manis, Matraman, Jakarta Timur yang telah mendeklarasikan daerahnya sebagai Kampung Bebas Asap Rokok sejak Juni lalu. Semoga daerah lain menyusul ya!