REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ridwan Saidi, Politisi Senior, Sejarawan, dan Budayawan Betawi.
Demokrasi di Iandonesia secara kultural masih perlu dipersoalkan. Apakah Indonesia sebuah kenegerian yang tepat untuk demokrasi. Tengoklah sejarah kekuasaan di negri ini yang pecah tiga secara fungsional: adat, ekonomi, dan politik.
Masing-masing berdiri nafsi-nafsi. Mereka hanya kontak sesuai keperluan. Bentrok dari mereka tempo-tempo ada, Ronggolawe yang menguasai zona ekonomi kawasan Tuban menghajar Majapait. Mataram tak hirau ketika pemangku adat Diponegoro perang lawan Belanda. Maka di sini menjadi omong kosong sajalah kalau kesultanan Banten pernah kuasai bandar Sunda Kalapa.
Setelah tahun 1453 Ottoman Turki berdaulat, muncul ikatan emosional di antara kesultanan di Andunisi (sebutan Indonesia oleh para 'Mukimin' di Makkah pada abad 18-19).
Ketika Belanda datang, merekalah yang berhadapan dengan Belanda. Misalnya, kekuasaan yang ada secara parsial Palembang menghadapi Inggris. Setelah itu kekerasan dan kekerasan yang kita hadapi. Tak pernah ada bulan madu bersama demokrasi sebagai value system (sistem nilai).
Demokrasi yang dilakukan secara liberal di Indonesia 1950-59 misalnya demokrasi yang luber pada kebebasan minim kesepakatan. Para era Demokrasi Tetimpin 1960-66 muncul demokrasi penindasan dan kekuasaan yang otoritarianisme.
Kemudian, ganti Demokrasi Orde Baru pada 1967-98. Di era ini tak ada ruang buat Islam. Sebagai ilustrasi, dalam kampanye PPP 1982 di Serang yang saya hadiri dengan Rhoma Irama sebagai jurkam dikunjungi puluhan ribu orang.
Namun, usai kampanye kami dihadang massa 'sebelah sono' (pendukung sana. Petugas keamanan ikut-ikutan berpihak. Mereka melarang kami melintas jalan raya untuk kembali pulang ke tempat masing-masing.
Dan diperlakukan seperti itu, saya tak.mau mengalah. Apalagi karena kemudian malah disuruh diam di tempat. Maka, massa saya ajak pulang melintasi rel kereta api. Ribuan massa berjalan melintas rel. Bismillah. Pihak PJKA pun ketakutan. Mereka kemudian sibuk berunding dengan polisi. Massa yang menghadang kami, bubar grak!
Lalu Demokrasi Reformasi 1998-2021 seperti apa? Jawabnya, terlalu banyak kritik terhadap demokrasi jaman reformasi. Bahkan terasa bila demokrasi di era ini harus diselamatkan. Sebab, alau tak diselamatkan dapat meluncur jadi demokrasi komersial (comercial democracy) dengan tulang punggunya merupakan para kaum oligrakh (backbone oligarchi).
Penyelamatan hukum dan demokrasi harus jadi agend perubahan. Bersamaan dengan itu harus bisa mewujudkan kesejahteraan rakyat di jagat Indonesia.