Oleh : Muhammad Hafil, Jurnalis Republika.co.id
REPUBLIKA.CO.ID, Salah satu fenomena yang terjadi di masa pandemi covid-19 adalah, adanya orang-orang yang tidak percaya dengan virus ini. Dan, mereka beranggapan Covid-19 bukanlah wabah yang mengerikan.
Ada beberapa tudingan mereka yang tidak pecaya soal pandemi ini. Di antaranya adalah bahwa Covid-19 sebuah konspirasi, adanya kebohongan yang ditutup-tutupi dalam wabah ini.
Itu hak mereka yang tidak percaya untuk meyakini keyakinannya. Namun, ada baiknya ketidakpercayaan pribadi ini tidak disebarkan kepada masyarakat, apalagi sampai menghasut. Karena, masyarakat yang lain telah berikhtiar dan berusaha untuk tidak tertular virus wabah ini.
Dan, ini bukan soal percaya atau tidak percaya. Tapi masyarakat berhak untuk sehat dan tidak tertular virus ini.
Salah satu komponen masyarakat yang berhak untuk sehat adalah umat beragama, yang ingin menjalankan ibadah. Tentu mereka yang telah melaksanakan protokol kesehatan.
Namun, adakalanya mereka justru dilarang dan bahkan ditegur saat mematuhi protokol kesehatan di rumah ibadah. Misalnya, beberapa waktu lalu, penulis melihat seorang imam di masjid yang menegur dan melarang jamaah sholat berjamaah menerapkan protokol jaga jarak saat sholat. Imam itu berkata agar jamaah jangan mengikuti perintah manusia seperti pemerintah atau pun WHO dalam beribadah, tetapi ikutilah perintah Tuhan.
Selain itu, pernah juga ada seorang khotib yang berkhutbah bahwa covid-19 adalah pembohongan. Kasus lainnya pernah terjadi di Bekasi pada Mei lalu, ada seorang jamaah masjid yang sholat namun memakai masker, tapi oleh pengurus masjid malah diusir.
Kasus lainnya, terjadi pada umat Kristen di Mimika, Papua. Di mana, pada akhir Juli lalu, beredar video yang menunjukkan sekelompok pendeta dan jamaat membakar masker dan vaksin covid-19.
Mereka mengklaim tidak pernah mematuhi aturan pembatasan seperti PSBB atau PPKM di masa pandemi ini. Karena bagi mereka, covid-19 tidak akan pernah bisa mengalahkan Tuhan.
Padahal, pemerintah melalui Kementerian Agama dan Kementerian Kesehatan, serta lembaga otoritas keagamaan, telah membuat protokol kesehatan untuk beribadah di rumah ibadah. Tujuannya untuk melindungi jamaah. Mereka tak dilarang, tapi diminta mematuhi protokol kesehatan saat ibadah di rumah ibadah.
Pemerintah dan lembaga otoritas keagamaan ini sudah menegaskan bahwa protokol kesehatan ini tidak menyalahi tata cara ibadah. Mereka memiliki dalil-dalil agama yang menguatkan pandangannya tentang protokol kesehatan di rumah ibadah, di masa darurat.
Menurut hemat penulis, umat beragama di Indonesia lebih bersyukur dibanding negara-negara lain di dunia. Larangan beribadah di rumah ibadah yang berlaku pada awal-awal covid-19 pada 2020 lalu sudah dicabut. Umat dipersilakan ibadah di rumah ibadah namun diminta untuk mematuhi protokol kesehatan.
Coba bandingkan dengan di negara-negara lain. Di sejumlah negara-negara Timur Tengah dan Malaysia, hingga saat ini aturan ketat pembatasan ibadah di rumah ibadah masih banyak terjadi. Bahkan, masih ada beberapa masjid yang baru membuka masjid, setelah ditutup dari awal pandemi.
Atau, di Malaysia misalnya. Otoritas keagamaan dan pemerintah di sana hanya mengizinkan pelaksanaan sholat di masjid bagi yang sudah divaksinasi.
Sekali lagi, ibadah di rumah ibadah di Indonesia sama sekali tidak dilarang. Tetapi, jamaah diimbau menerapkan protokol kesehatan. Dan, anjuran penerapan protokol kesehatan itu hingga saat ini belum dicabut karena pandemi belum selesai, dan masih banyak orang yang belum divaksinasi.
Sehingga, sangat disayangkan jika ada orang yang tak mematuhi protokol kesehatan. Apalagi, melarang orang lain mematuhi protokol kesehatan saat di rumah ibadah.