Oleh : Indira Rezkisari*
REPUBLIKA.CO.ID, Kabar tercapainya herd immunity atau kekebalan berkelompok di Jakarta tentu menggembirakan. Vaksinasi di Jakarta yang konon sudah mencapai 100 persen dosis satu (meski 30 persen di antaranya bukan dari warga ber-KTP Jakarta) adalah kabar yang sangat baik.
Apalagi ketika capaian vaksinasi tersebut diikuti dengan penurunan kasus Covid-19 di Jakarta dan sekitarnya. Bagi warga Jabodetabek, hari-hari mendengar kabar kerabat, keluarga, rekan kerja, atau tetangga yang positif Covid-19 mulai berlalu. Setidaknya kasusnya berkurang sangat dibanding ketika Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) baru mulai berlaku di awal Juli 2021.
Hari-hari ini rasanya hidup dalam ketakutan tersebut mulai berkurang. Orang sudah mulai berani lagi berolahraga keluar rumah, pusat perbelanjaan sudah dibuka lagi, beberapa tempat wisata juga sudah memiliki izin beroperasi meski dengan aturan ketat dan pengunjung yang sangat terbatas.
Agaknya kehidupan setelah era herd immunity cukup baik, ya. Pasien Covid-19 di rumah sakit berkurang signifikan. Bahkan tenda-tenda darurat sudah dilipat karena tidak ada pasien untuk ditampung di bawahnya. Tenaga medis yang disiagakan di sejumlah fasilitas isolasi terpadu untuk menampung pasien isolasi mandiri bahkan banyak yang sudah dikembalikan ke faskesnya masing-masing. Alasannya, beberapa tempat isolasi terpadu dalam kondisi nol pasien.
Saya ingat pernah bertanya kepada ahli biologi molekuler Ahmad Rusjdan saat beliau menjadi narasumber untuk salah satu webinar yang digelar Republika bekerjasama dengan Satgas Covid-19 BNPB.
Saya bertanya pendapatnya tentang herd immunity yang konon sudah terjadi di DKI Jakarta karena tingginya laju capaian vaksinasi Covid-19, meski baru dosis pertama yang lebih dari 70 persen.
Pria yang akrab disapa Pak Ahmad itu kira-kira menjawab seperti ini, herd immunity Covid-19 tidak hanya bisa dilihat dari capaian vaksinasi saja. Ada sejumlah faktor yang turut mempengaruhi, mulai dari jenis vaksin yang digunakan lalu keefektifannya dan sejumlah hal lain.
Intinya, meski capaian vaksinasi sudah tinggi, masyarakat tetap harus waspada. Ketidaklengahan dalam menghadapi pandemi adalah kuncinya.
Yang membuat saya kaget, Pak Ahmad mengatakan, sebenarnya selama ini pencegahan pandemi yang utama adalah dengan mengenakan masker yang sesuai. Ia memberi contoh, orang yang sudah vaksin masih bisa terkena Covid-19 bila ia abai protokol kesehatan. Meski karena sudah divaksinasi, bisa jadi kadar keparahan penyakitnya akibat virus corona jenis baru berkurang signifikan.
Studi membuktikan, masker memberi perlindungan utama di saat berhadapan Covid-19. Bukan berarti vaksinasi tidak diperlukan, tapi upaya melindungi diri yang paling utama adalah dengan mempraktikkan protokol kesehatan ketat.
Pak Ahmad mengajak melihat kondisi Amerika yang kasusnya meningkat lagi akibat kebijakan pelonggaran masker. Artinya, kombinasi vaksinasi dan menggunakan masker serta prokes lain tetap harus dijalankan meski mungkin hampir semua orang di keliling kita sudah divaksinasi.
Dalam kesempatan webinar lain yang saya ikuti dengan narasumber ‘Sang Juru Wabah’ atau epidemiolog UI Pandu Riono, ia juga mengutarakan hal yang sama. Masker tetap sangat penting untuk digunakan saat keluar rumah di saat capaian vaksinasi sudah tinggi.
Oke kembali ke masalah herd immunity. Dalam wawancara yang dikutip Republika, ahli patologi klinis dari Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) Surakarta Tonang Dwi Ardyanto mengatakan, suatu wilayah dikatakan mencapai herd immunity jika memang wilayah itu tertutup dan harus ditetapkan seberapa luasan wilayah tersebut. Karena itu menyatakan, Jakarta belum bisa dikatakan telah mencapai herd immunity karena faktor mobilitasnya. Sebab Jakarta masih terbuka dari masyarakat daerah lain.
Dalam konsep ideal, herd immunity bisa tercapai saat sebuah area yang sudah divaksinasi 70 persen populasinya. Bukan hanya itu syaratnya, daerah juga tidak terbuka bagi warga luar.
Tonang melihat, saat ini yang terjadi adalah persebaran virus yang minimal. Ia melanjutkan, disebut minimal artinya masih mungkin menyebar tapi menjadi terbatas karena sudah banyak yang memiliki imunitas. Tentu saja, berarti semakin banyak yang sudah memiliki imunitas akan makin terbatas persebarannya.
"Ini artinya, saat tercapai persentase 2/3 atau 70 persen tersebut, masih mungkin ada yang terinfeksi. Tapi jumlahnya kecil, sehingga dapat ditangani dengan segera dan angka kematian akan mendekati nol. Hanya syaratnya, memang wilayah itu tertutup. Tinggal sekarang kami akan menetapkan seberapa luasan wilayah herd immunity tersebut," kata dia.
Pakar lain yaitu epidemiolog Universitas Griffith Australia Dicky Budiman melihat upaya mencapai herd immunity tidak mudah. Terutama dengan adanya varian Delta.
"Mencapai herd immunity tidak mudah dan tidak bisa dalam waktu singkat. Tolong cukup bijak dalam penggunaan kata. Jangan sampai PHP (Pemberi Harapan Palsu) nantinya. Kalau bicara herd immunity itu jangka panjang. Jakarta? Wah, masih jauh banget,” katanya beberapa waktu lalu.
Dia mencontohkan, vaksinasi bisa mengurangi kasus infeksi, angka kematian dan beban nakes. Tapi, jangan langsung mengklaim kalau semua sudah divaksin maka menuju herd immunity pun terjadi. Ia takut masyarakat menganggap aman-aman saja padahal virus ini masih bahaya.
"Negara Kanada dan Israel saja yang sudah melakukan vaksinasi 50 persen tidak bisa klaim herd immunity. Apalagi Indonesia salah satunya di Jakarta itu belum mencapai herd immunity. Ini pandemi masih panjang dan bahaya," kata dia.
Masih panjang dan berbahaya. Begitu kira-kira perjalanan dunia ini menghadapi pandemi Covid-19. Tidak ada resep jitu juga untuk melawannya. Saat ini kita hanya bisa patuh prokes, mau menggunakan masker dengan benar, dan mau divaksinasi. Semoga kedisplinan tersebut mampu menjaga penyebaran virus corona tetap rendah, kalau bisa hilang selamanya, di Tanah Air.
*Penulis adalah jurnalis Republika