REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Muhammad Subarkah,Jurnalis Republika.
Di tengah hiruk-pikuk pemberitaan media dunia soal kemenangan Taliban dan Pakistan berbagai macam berita bermunculan. Ada yang berisi propaganda, hoaks, hingga ada berita biasa. Berita buruk misalnya kaburnya Presiden Ashraf Ghani ke luar negeri saat Taliban akan masuk kabul dengan menggondol berkoper uang. Berita yang baik adalah ketika tak terjadi perang kala Taliban masuk kabul. Alhasil, bangunan dan rakyat sipil di kota Kabul utuh terlindungi.
Dan seiring dengan berita itu, media barat dan orang Afghansitan yang selama ini hidup nyaman dengan rezim Ashraf Ghani bentukan Amerika Serikat (AS) dan sekutu itu, mulai membanjiri berita dengan berita propaganda. Ini misalnya soal peran Pakistan dalam kemenangan Taiban itu.
Media 'Time of Israel' menuduh Pakistan membiarkan wilayah barat lautnya sebagai tempat untuk menyusun rencana dan memberontak setelah digulingkan pasukan Amerika Serikat (AS) dan sekutu pada 2001. AS pun sempat menyebut Pakistan menjadi tempat perlindungan aman bagi milisi Taliban. Media sosial Afghansitan juga penuh dengan tuduhan itu.
Dan bagi Pakistan ini jelas tak habis mereka pikir. Sebab, selama inilah mereka merasakan langsung limpahan dari imbas konflik perang saudara di Afghanistan itu. Tak hanya mereka mendapatkan teror, mereka juga mendapat limpahan ribuan pengungsi yang harus Pakistan dilindungi. Pendek kata serba salah.
Seorang petinggi militer Pakistan di Lahore dalam perbincangan beberapa tahun menceritakan dilema itu. Menyeleksi mana pelintas batas yang Taliban dan bukan sangat susah. Postur dan wajahnya mereka sama dengan warga Pakistan lainnya. Begitu juga bahasa dan adat istiadatnya. Mereka juga saling bersaudara.
''Silahkan anda cek keperbatasan Pakistan-Afghanistan. Lihat sendiri mana beda antara warga Taliban dan yang bukan dengan warga Pakistan saat melintas batas. Wajahnya sama, posturnya sama, bicaranya sama. Susah sekali membedakan. Kalau hanya sekedar identitas itu juga tak menjamin,'' kisahnya dalam sebuah perbicangan di sebuah markas militer di Lahore.
Dan bila pergi ke perbatasan Pakistan Afghanistan, situasi itu jelas terlihat. Di perbatasan Afganistan-Pakistan yang jaraknya hanya 2,5 jam naik kendaraan dari Islamabad, pemandangan itu akan terlihat. Akibatnya pendeknya jarak itu, di taman-taman Islamabad banyak ditemukan warga Afghansitan yang tengah berwisata. Sosok mereka sama saja dengan warga Pakistan lainnya,
''Saudara saya tinggal di sini. Kami selalu saling berkunjung meski beda negara. Saya sering ke sini dia juga sering ke Pakistan. Ini ikatan silaturahmi keluarga kami yang sudah berlangsung semenjak dahulu. Turun temurun,'' katanya.
Terkait soal pengungsi petinggi militer Pakistan itu juga mengatakan bahwa itu soal yang ruwet. Bagi Pakistan jelas tak menguntungkan. Bahkan perbatasa Pakistan sudah dipasang pagar. ''Kami kelimpahan soal ruwetnya keadaan Afghanistan.''
Soal susahnya menyeleksi para pelintas batas ternyata tak hanya terjadi pada perbatasan Pakistan-Afghanistan saja. Di perbatasan Pakistan-India yang berada di dekat Lahore juga begitu. Warga India dan Pakistan bisa bolak balik dengan mudah. Memang ada pemeriksaan tapi hanya pemeriksaan identitas saja. Dan sama dengan warga pelintas perbatasan Pakistan dan Afghanistan, warga pelintas batas Pakistan India juga sama: berwajah sama, budaya sama, bersaudara. Mereka melintas batas untuk keperluan hubungan keluarga atau berdagang kecil-kecilan.
Jadi kalau media Israel dan media pro barat hingga medsos di India menyalahkan Pakistan atas kemenangan Taliban, itu sebuah hal lucu sekaligus ironis. Mereka tidak berkaca bila rezim yang didukungnya terbukti berperilaku tak terpuji. Contoh konkritnya terjadi pada diri sang Presiden Ashraf Ghani yang melarikan diri di tengah situasi yang sangat genting sembari menggondol begitu banyak uang.
Maka tak aneh, menteri pertahanan Afghansitan saat Ashraf Ghani berkuasa mengutuknya dengan kejam bila dia hanya sekedar orang 'kaya sialan' alias bukan pemimpin. Ketua dewan rekonsilasi Afghansitan juga bersuara keras bahwa rakyat Afghanistan akan menuntut Ashraf Gani dan tak memaafkanya. "Biar Tuhan yang balas dia saja."
Dan kini media pro AS dan sekutu (barat) pun sibuk menayangkan berita dan gambar soal situasi 'chaos' di Bandara Kabul. Ribuan orang berebut naik pesawat berusaha kabur ke luar negeri. Media India misalnya ada yang mengecam situasi itu sebagai bukti bahwa rakyat takut akan diberlakukannya hukum syariah (hukum Islam) oleh Taliban. Media ini menngutip omongan politisi yang selama ini terkena demam Islamophobia.
****
Padahal soal 'chaos' situasi akibat sebah ibu kota jatuh ke tangan tentara yang jadi musuh rezim, bukan hal baru. Ingatlah apa yang terjadi ketika ibu kota Vietnam Selatan, Saigon, (kini menjadi Ho Chi Minch City) jatuh ke tangan bala tentara Vitkong. Suasana rusuh terjadi sangat jelas. Bahkan malahan lebih sadis.
Waktu itu, Bandara Saigon diserbu masa pendukung negara Vietnam Selatan yang didukung AS. Mereka juga memaksa-maksa naik pesawat. Dan Amerika Serikat saat itu juga kelimpungan. Bahkan, kepanikan terwujud dengan memaksa pesawat dengan membawa penumpang berlebihan. Akibatnya,kala itu pesawat yang diantaranya berisi diplomat dan petinggi tentara AS di sana, jatuh ke laut sesaat tinggal landas. Waktu itu pesawat tersebut bermaksud terbang ke AS dengan singgah di Philipina.
Dan situasi 'chaos' di Saiagon juga akibat propaganda media barat. Mereka memuat berita yang menyerukan perlawanan kalau tentara Vietkong tiba di Saigon akan melakukan pembataian. Katanya, kalau mereka berhasil mendudukinya maka kalian akan dibantai oleh tentara komunis itu. Akibatnya propaganda ini, maka banyak dari mereka kemudian memilih melarikan diri melalui laut dengan naik perahu ke wilayah Asia Tenggara, misalnya Batam. Maka munculnya sebutan 'manusia perahu' asal Vietnam.
Padahal faktanya, kala Saigon jatuh tak lagi ada pertempuran. Kota ini diserahkan oeh pihak AS melalui perwakilannya yang ada. Kala itu sebagai tanda adalah masuknya sebuah kendaraan berat militer milik Vietkong. Tak ada peluru yang menyalak. Tak ada pembantaian. Sesudah itu hanya ada semamcam indontrinasi dari pihak pemenang kepada warga negaranya selama tiga bulan. Isinya: "Anda kini hidup dalam situasi baru, bukan hidup lagi di era lama." Itu saja!
Dan seandainya 'Paman Ho' (Ho Chi Minch) masih hidup, dia akan tersenyum meihat apa yang terjadi di Kabul. Dia pasti sadar itulah perang. Semua penuh proaganda yang kadang menyesatkan.
****
Khusus untuk Indonesia ada pelajaran juga. Negara Vietnam itu yang dulu dibekap perang oleh Amerika Serikat, dalam banyak hal rankingnya malah lebih baik dari Indonesia. Bahkan, sudah ada pihak yang berani menyatakan bila Vietnam akan menyalip Indonesia dalam kurun 50 tahun. Argumennya: Beda dengan Indonesia, Vitenam adalah negara yang berulangkali memenangkan secara telak perangnya. Bahkan sampai dua kali, yakni perang dengan Prancis di awal kemerdekaanya dan AS pada tahun 1970-an.
Indonesia beda, mendapatkan kemerdekaan dengan perundingan. Bahkan sampai harus bayar sejumlah uang ganti rugi kepada Belanda seperti dalam perjanjian hasil Konprensi Meja Bundara tersebut. Kenyataan ironis pun sudah semenjak dahulu mendapat kecaman. Dan ini juga menjadi bukti gagalnya cita-cita Panglima Jendral Sudirman yang ingin mendapat kemerdekaan secara penuh terhadap Prancis seperti Vietnam. Saat Sudirman melihat dan yakin bila diteruskan maka tentara nasional akan mendapat kemenangan secara mutlak.
Tapi sejarah mencatat impian Sudirman tak terwujud. Sejarah mencatat itu!
Maka sekarang berhati-hatilah terhadap hoaks media sosial dan berita propaganda.