Oleh : Gita Amanda, Jurnalis Republika.co.id
REPUBLIKA.CO.ID, Awal tahun ini, gembar-gembor mengenai sekolah tatap muka sudah banyak digaungkan di berbagai media. Bahkan telah keluar Surat Keputusan Bersama (SKB) 4 Menteri, yang mengatur terkait sekolah tatap muka terbatas ini.
Hal tersebut tentu jadi angin segar bagi seluruh masyarakat, terutama bagi siswa dan orang tua. Setelah satu tahun lebih berkutat dengan pembelajaran daring, wacana pembelajaran tatap muka tentu menjadi kabar gembira.
Begitupun buat saya, tahun lalu bahkan saya menunda anak pertama saya masuk sekolah dasar. Saya biarkan dia mengenyam lagi satu tahun pendidikan TK. Pikir saya, tahun depan (2021), mungkin kondisi akan membaik dan sekolah akan kembali di buka.
Pikiran saya sepertinya juga dirasakan banyak orang tua. Apalagi sejak Maret wacana pembelajaran tatap muka semakin masif dibicarakan. Guru-guru mulai menerima vaksinasi. Sekolah berbenah diri. Menyiapkan sarana dan prasarana penunjang sekolah tatap muka terbatas. Pemerintah pun mulai mengeluarkan berbagai aturan terkait penyelenggaraannya.
Berbagai simulasi terkait pelaksanaan ini juga mulai dilakukan sejumlah sekolah di berbagai wilayah di Tanah Air. Semua menyambut baik wacana ini. Semua bersiap. Terutama para orang tua. Seperti halnya juga saya.
Saya tak bisa membayangkan bagaimana, jika anak-anak harus kembali belajar di rumah. Sebab selama ini Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ), jauh dari kata ideal dan efektif bagi siswa. Malahan, banyak menimbulkan permasalahan.
Bagi anak misalnya, anak kehilangan kesempatan berinteraksi dengan guru dan teman. Mereka juga tertekan dengan berbagai tugas yang diberikan. Belum lagi kalau sudah berurusan dengan masalah konektivitas jaringan internet. Dan banyak hal lain lagi.
Pun bagi orang tua. Mendampingi anak belajar di rumah tentu mendatangkan stres tersendiri. Terlebih tak semua orang tua bisa melakukan pendampingan dengan baik. Ada yang akhirnya malah marah-marah atau berujung kekerasan pada anak. Serem ya!
Buat sekolah pun ini jadi masalah. Sekolah jadi tak bisa mengukur dengan benar kompetensi setiap anak. Sekolah kesulitan mengetahui bagaimana anak-anak didik mereka bisa menangkap setiap materi yang disampaikan. Belum lagi urusan dengan administrasi dan laporan-laporan yang harus dibuat guru.
Makanya, wacana pembelajaran tatap muka menjadi topik yang paling menggembirakan. Sayangnya, semua seakan pupus sejak kasus Covid-19 mulai meroket awal Juni lalu. Tingginya kasus tentu membuat pemerintah akhirnya menerapkan kembali Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat. Mulai dari tahap mikro hingga kini berada di level 4.
Anak-anak di kota-kota zona merah Covid-19 pun terpaksa harus kembali ke ''laptop'' atau gedget mereka. Angan untuk belajar di sekolah bersama guru dan teman harus mereka kubur sementara, hingga kondisi memungkinkan hal itu dilakukan.
Para orang tua pun harus kembali bersiap. Terutama menyiapkan mental untuk kembali menjadi "guru" dan pendamping anak-anak di rumah. Sambil terus berharap dan berdoa, kondisi akan terus membaik dan pandemi segera berakhir.
Hanya zona merah yang tak boleh
Tapi ternyata, hanya zona merah yang tak boleh menggelar pembelajaran tatap muka. Sebab nyatanya saat ini ada 35 persen sekolah di Indonesia yang tetap menggelar kegiatan belajar tatap muka terbatas.
Sejak dimulainya tahun ajaran baru 12 Juli lalu, belajar tatap muka terbatas ini digelar sejumlah sekolah di wilayah yang tak menerapkan PPKM Darurat. Juga wilayah-wilayah dengan zona hijau dan kuning. Mulai dari Kalimantan Selatan hingga Aceh.
Sementara tujuh provinsi di Indonesia wajib menyelenggarakan pembelajaran jarak jauh. DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur, dan Bali. Daerah-daerah ini tidak diperkenankan melakukan pembelajaran tatap muka terbatas hingga PPKM Darurat berakhir.
Learning loss
Semua tentu berharap, pandemi Covid-19 dapat segera berakhir. Penurunan kasus diharapkan dapat terus terjadi. Agar anak-anak bisa kembali ke bangku sekolah.
Apalagi saat ini, vaksinasi untuk anak juga sudah mulai diberikan. Artinya tak hanya orang tua dan guru yang sudah bisa menerima vaksinasi tapi juga anak-anak hingga usia 12-18 tahun.
Sebab seperti dikatakan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim pada Mei lalu. Menurutnya pembelajaran daring ini bisa membawa ancaman learning loss. Apa itu? Yakni kondisi dimana kita kehilangan satu generasi yang tak belajar sama sekali. Dan kondisi ini sangat rentan terjadi saat PJJ.
Sebab banyak sekali hambatan dan tantangan dalam penyelenggaraan PJJ ini mengingat banyak ketimpangan dalam hal sarana dan prasarana pendukung PJJ. Pembelajaran yang tak dinamis menurut Nadiem juga membuat anak bosan, kesepian bahkan bisa berujung depresi. Belum lagi level stres orang tua yang meningkat drastis.
Jadi saat ini yang bisa kita lakukan hanya menunggu saja perkembangan kasus Covid-19 di Tanah Air, dan diharapkan mengalami penurunan drastis. Jangan lupa untuk menjaga anak-anak dan keluarga agar juga terhindar dari Covid-19. Supaya apa? Supaya anak-anak bisa kembali belajar di sekolah. Kembali bercengkrama dengan teman-teman. Menyimak langsung penjelasan dari guru. Dan orang tua bisa sedikit menarik napas lega.