REPUBLIKA.CO.ID, Sebelum mengomentari alasan Pemerintah daerah dan kepolisian membuka tutup lokasi wisata, kita harus akui kalimat ini. Bahwa sebagian dari kita memang dengan amat meyakinkan tidak menjalankan protokol kesehatan.
Hal ini bisa dilihat dari beredarnya beragam video kerumunan masyarakat di tempat wisata. Contohnya di pantai, kolam bermain anak hingga jalan menuju lokasi wisata.
Tidak heran kemudian sejumlah daerah tengah menerapkan kebijakan buka tutup tempat wisata akibat adanya lonjakan pengunjung. Akan tetapi menyalahkan masyarakat 100 persen menjadi penyebab kerumunan juga penulis rasa terlalu berlebihan. Tentu saja hal ini karena mau tak mau adalah imbas dari pelarangan mudik, bahkan untuk lokal sekalipun.
Gembar-gembor pembukaan lokasi wisata sebenarnya jauh-jauh hari sudah dilakukan. Ucapan lebih baik staycation dibandingkan mudik seakan-akan membius masyarakat.
Apalagi di saat yang sama Pemerintah sudah mencanangkan vaksinasi bagi pekerja di sektor wisata. Upaya ini tentu saja agar menciptakan rasa aman bagi masyarakat bila datang ke lokasi wisata. Seakan-akan seperti dahaga seharusnya musim lebaran jadi upaya pengelola lokasi wisata meraup keuntungan sebanyak mungkin.
Namun membludaknya masyarakat malah jadi pemicu ditutupnya lokasi wisata. Pengamat Pariwisata sekaligus Founder Temannya Wisatawan, Taufan Rahmadi, dikutip dari Republika.co.id, berpendapat, kebijakan tersebut menunjukkan bahwa masih munculnya kekhawatiran yang tinggi terkait kepatuhan masyarakat di dalam mentaati prokes disaat berwisata dimata para pemegang otorisasi kebijakan destinasi di daerah.
Ia mengatakan, tidak bisa dipungkiri kebijakan buka tutup tempat wisata memunculkan pro dan kontra di tengah masyarakat. Oleh karena itu untuk meminimalisir hal tersebut maka perlu dilakukan tahapan-tahapan kebijakan.
Kebijakan tersebut harus berpatokan kepada yang telah di rekomendasikan oleh UNWTO dan WHO, yaitu sehat dan bersih adalah utama. Rekomendasi ini jika dituangkan dalam bentuk implementasi kebijakan protokol destinasi maka akan memiliki dua bentuk.
Pertama, pemerintah harus tentukan zona hijau destinasi (bubble destinationa) di setiap daerah Wisata. Kedua, pelaksanaan prokes yang ketat dan tegas, yang paling utama membatasi jumlah kunjungan wisatawan di satu obyek wisata.
Memang meski kebijakan ini merugikan pengelola dan membuat masyarakat emosi, namun harus dilakukan. Hal itu karena sebesar-besarnya kerugian, tentu lebih rugi lagi bila Covid-19 menyebar dan menciptakan klaster-klaster tempat wisata.
Namun akan lebih baik lagi bila Pemerintah tidak membuat aturan tumpang tindih, misalnya pelarangan mudik namun izinkan pembukaan lokasi wisata. Bila sejak awal kebijakan pelarangan diberlakukan pukul rata, pun dengan tambahan PPKM Mikro, keputusan tutup buka tempat.