Oleh : Arys Hilman Nugraha, Ketua Umum Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi)
REPUBLIKA.CO.ID --- Negara-negara di dunia menghadapi situasi etis terbesar abad ini dalam memutuskan cara pembelajaran anak-anak didik, apakah akan kembali membuka sekolah untuk pembelajaran tatap muka (PTM) atau tetap menutup sebagian bahkan seluruh sekolah dan memilih cara pembelajaran jarak jauh (PJJ).
Membuka kembali sekolah-sekolah tampak sebagai pilihan buruk karena berpotensi menjadi pintu bagi penyebaran pandemi Covid-19 yang juga membahayakan jiwa anak-anak. Namun, penutupan sekolah tak kurang buruknya karena mengakibatkan pembodohan besar-besaran yang akan berdampak hingga bertahun-tahun ke depan.
Pemerintah Republik Indonesia memilih untuk membuka kembali sekolah pada Juli mendatang (Republika, 31/3). Sebagai negara yang tak pernah seutuhnya menutup pintu sekolah, pemerintah menilai PJJ tak dapat sepenuhnya memenuhi hak anak-anak untuk mendapatkan pendidikan.
Keinginan membuka kembali sekolah telah terdengar Juli tahun lalu maupun awal tahun ini, namun keyakinan pemerintah baru kokoh setelah program vaksinasi berjalan.
Indonesia berada dalam satu kelompok yang sama dengan Amerika Serikat, Turki, Jerman, dan Afrika Selatan sebagai negara yang tetap membuka sebagian sekolah dan menempatkan para guru sebagai sasaran vaksinasi prioritas kedua setelah tenaga kesehatan dan lansia.
Di negara-negara yang membuka sekolah secara penuh seperti Rusia, Cina, dan Vietnam, para guru termasuk dalam kelompok prioritas pertama penerima vaksin.
Baca juga : Fakta-Fakta Terbaru Soal Pandemi Covid-19
Penutupan sekolah-sekolah di dunia, menurut riset Unesco, telah mengakibatkan lonjakan jumlah anak-anak yang tak bisa membaca pada tahun lalu. Sebelum pandemi, Unesco yakin jumlah anak-anak usia sekolah yang tak dapat membaca akan turun dari 483 juta pada 2019 menjadi 460 juta pada 2020.
Namun, penutupan sekolah mengoyak keyakinan itu dan jumlah anak-anak yang tak bisa membaca justru melonjak menjadi 584 juta. Keberhasilan dunia di bidang pendidikan selama dua dekade terhapus hanya dalam satu tahun.
Di negara-negara berkembang, penutupan sekolah berdampak lebih serius. Ancaman terhadap anak-anak usia sekolah bukan sekadar ketidakmampuan membaca, melainkan pupusnya peluang berikutnya untuk mendapatkan pendidikan.
Anak-anak yang tidak pergi ke sekolah justru memasuki dunia kerja dengan kemungkinan tidak akan pernah kembali ke sekolah selama-lamanya. Menurut Unicef, 168 juta anak sekolah benar-benar kehilangan kesempatan belajar sepanjang satu tahun penyebaran Covid-19.
Indeks literasi
Data Unesco tentang 584 juta anak usia sekolah yang kesulitan membaca akan terasa lebih sebagai dentuman besar kalau kita melihatnya sebagai persoalan literasi. Kemampuan baca adalah modal awal dan terpenting pengembangan literasi.
Literasi sendiri didefinisikan sebagai kemampuan untuk memaknai informasi secara kritis. Dengan kemampuan tersebut, setiap orang dapat mengakses ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai upaya meningkatkan kualitas hidup.
Indonesia tidak termasuk negara yang maju dalam hal literasi. Berbagai riset menempatkan negeri ini pada papan terbawah. Hasil riset yang paling populer adalah dari Central Connecticut State University pada 2016 yang mendudukkan Indonesia pada urutan ke-60 dari 61 negara yang diteliti.
Baca juga : Mental Remaja Eropa Terganggu Akibat Pandemi Covid-19
Hasil riset serupa bertajuk Aktivitas Literasi Membaca (Alibaca) oleh Kemendikbud menunjukkan temuan senada: Tidak satu pun provinsi di Indonesia memiliki indeks aktivitas literasi yang tinggi. Sembilan provinsi memiliki indeks Sedang. Sebanyak 24 berada pada kelompok indeks Rendah. Satu provinsi memiliki indeks Sangat Rendah.