Oleh : Andi Nur Aminah*
REPUBLIKA.CO.ID, Pertengahan Desember lalu, karena suatu keperluan mendesak, untuk pertamakalinhya saya meninggalkan rumah dan melakukan perjalan cukup jauh sejak pandemi Covid-19 melanda negeri ini. Pandemi membuat saya memilih patuh lebih sering di rumah, bekerja dari rumah. Kalaupun keluar, saya berusaha tak berlama-lama.
Namun saya sedikit waswas. Apalagi tempat yang akan saya datangi, Kota Makassar, statusnya merah. Perjalan pulang kampung kali ini rasanya betul-betul berbeda. Dalam kondisi berduka karena anak-anak harus kehilangan ayahnya untuk selama-selamanya, kami pun berangkat berbalut kecemasan. Masker dua lapis sudah kami pakai. Bekal hand sanitizer seorang satu, minyak kayu putih, dan obat-obatan pribadi sudah siap.
Kita harus tenang, enggak boleh cemas, atau sedih berlebihan, kataku pada anak-anak. Kita harus santai, karena akan jalani rapid test nanti di bandara. Namun usaha saya menyemangati mereka justru disambut dengan uraian air mata. Duh, dalam kondisi seperti ini, saya hanya mampu berpasrah diri.
Tiba di Bandara Soekarno Hatta, saya langsung mencari dimana lokasi rapid test dilakukan. Saat itu, sekitar pukul 19.00 WIB. Suasananya cukup sepi. Kami tak perlu antre dan langsung menghampiri petugas yang berbalut hazmat. Proses rapid test berlangsung sekitar lima menitan saja. Setelah itu kami menunggu hasil tes di ruang tunggu yang kebanyakan kursinya kosong.
Sekitar 15 menit, hasil rapid test keluar. Alhamdulillah semuanya nonreaktif. Saya mengamati isi lembaran itu, dan tercantum bahwa surat keterangan berlaku hingga 14 hari ke depan sejak tanggal dikeluarkan.
Saat menaiki tangga pesawat, sepinya suasana di bandara ternyata tak saya temui. Kursi di pesawat yang terbang pada pukul 00.30 WIB itu penuh. Perkiraan saya bahwa penumpang akan duduk saling berjarak ternyata tidak demikian. Saya hanya melihat semua orang memakai masker dan ada satu dua orang yang memakai kaos tangan.
Ternyata tak semua juga protokol kesehatan itu dilaksanakan. Pembatasan kapasitas penumpang untuk moda transportasi udara ternyata tak berlaku.
Setelah dua hari berada di Makassar, saya baru menyadari ada perubahan aturan terkait pemeriksaan perjalan udara apalagi lintas pulau. Semuanya kini harus melalui rapid antigen. Artinya, surat keterangan hasil rapid tes kami yang non reaktif itu tak berlaku lagi.
Menjelang pulang nanti, artinya kami harus bersiap melakukan rapid antigen. Rapid antigen bagi mereka yang melakukan perjalan udara dengan tujuan ke Pulau Jawa, hanya berlaku tiga hari.
Saya kemudian mendapatkan informasi bahwa Pemprov Sulawesi Selatan memfasilitasi rapid antigen secara gratis untuk 100 orang per hari. Pelaksanaanya di dua tempat yakni di Kantor Yayasan Kanker Indonesia Cabang Sulsel dan di Bandara Hasanuddin. Di dua tempat itu ada kuota untuk 100 orang perhari.
Untuk masuk dalam kuota 100 orang itu, harus melakukan pendaftaran secara online. Tampaknya informasi rapid antigen gratis itu menyebar begitu cepat. Saat mencoba mendaftar online di YKI pada 23 Desember, ternyata kuotanya sudah penuh hingga 26 Desember yang merupakan hari terakhir pendaftaran.
Sedangkan untuk rapid antigen di Bandara Hasanuddin, pelaksanaanya relatif lebih panjang dan masih berlangsung hingga saat ini. Peluang mendapatkan pemeriksaan rapid antigen gratis itu pun saya kejar. Lumayanlah, bisa berhemat daripada harus merogoh kocek lagi Rp 175 ribu per orang, sedangkan kami bertiga.
Setelah memastikan hari kepulangan ke Jakarta, kami pun bersiap menjalani pemeriksaan minimimal dua hari sebelum terbang. Keharusan mendaftar secara online ternyata cukup bikin degdegan. Saya membayangkan kuota yang hanya 100 orang per hari itu tentu menjadi rebutan orang-orang yang akan berpergian. Dan benar saja, melalui link pendafatan online yang dibuka tepat pukul 08.00 WITA, dalam waktu kurang dari 60 menit, kuota tersebut sudah habis.
Alhamdulillah kami bertiga bisa masuk, meski dengan nomor pendaftaran yang cukup berjauhan yakni nomor urut 5, 15 dan 50. Artinya, traffict pendaftaran saat mulai dibuka berlangsung sangat cepat.
Namun pelaksaan rapid antigennya sendiri, tidak sehiruk pikuk pendaftaran. Karena pemeriksaan berlangsung dari 08.00 hingga 15.30 WITA dan orang-orang datang secara bergelombang.
Merasakan perjalan dengan moda pesawat di masa pandemi Covid-19 ini sangat terasa bedanya terutama di pemeriksaan kesehatan. Saat tiba di Bandara Soekarno Hatta, penumpang tak bisa masuk area tempat mengambil bagasi dan pintu kedatangan sebelum menunjukkan kartu kewaspadaan atau Health Alert Card (HAC).
Kartu tersebut dapat diunduh melalui aplikasi electronic Health Alert Card (eHac) di Google Store atau Apple Store serta dapat diakses melalui inahac.kemkes.go.id. E-Hac merupakan Kartu Kewaspadaan Kesehatan versi modern.
Setiap penumpang wajib mengisi data-data detil antara lain nama, usia, jenis kelamin, negara, nomor identitas, lokasi tujuan, perkiraan waktu kedatangan, pesawat yang digunakan hingga nomor kursi di pesawat.
Rekaman data-data tersebut nantinya akan muncul dalam tampilan barcode. Barcode ini kemudian di scan oleh petugas saat check point pemeriksaan. Tanpa barcode eHac, Anda tak bisa keluar dari area bandara tersebut.
Penyebaran virus Covid-19 yang makin merebak ini memaksa pemerintah mengeluarkan aturan perjalanan yang serba cepat. Pergerakan orang-orang dari satu tempat ke tempat lain, faktanya telah membuka peluang virus berpindah dan berkembang cepat. Inilah yang ingin dicegah dengan memastikan orang-orang yang melakukan perjalan itu, statusnya aman dan bersih dari virus, setelah menjadi pemeriksaan rapid antigen.
*) Penulis adalah jurnalis republika.co.id