REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ken Sudarti, Dosen FE Unissula Semarang
Sebagai salah satu pilar ekonomi Indonesia, institusi keuangan syariah masih menghadapi tantangan cukup berat. Berdasarkan laporan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) 2019, ekonomi Indonesia di Global Islamic Finance di posisi ketujuh dengan aset 86 miliar dolar AS.
Meskipun meningkat empat miliar dolar AS dari tahun sebelumnya, masih jauh tertinggal dari Malaysia yang berada di posisi ketiga dengan total aset 521 miliar dolar AS. Dengan mayoritas penduduk Indonesia adalah Muslim, populasi Muslim dunia yang diperkirakan tumbuh hingga 2,2 miliar pada 2030, meningkatnya ketertarikan terhadap agama yang ditandai hasil survei 76 persen Muslim menganggap, agama sangat penting bagi kehidupan dan meningkatnya preferensi masyarakat untuk ethical consumerism, memperlihatkan potensi industri syariah masih bisa dioptimalkan (OJK, 2019).
Optimisme ini semakin diperkuat dengan meningkatnya aset beberapa lembaga keuang ansyariah, seperti aset keuangan syariah, perbankan syariah, pasar modal syariah, dan institusi keuangan non-bank (IKNB) syariah. Aset keuangan syariah Indonesia saat ini, mampu tumbuh 14,01 persen menjadi Rp 1.468,07 triliun dari tahun sebelumnya, yang sebesar Rp 1.287,65 triliun.
Pasar modal syariah, yang memiliki porsi terbesar aset keuangan syariah (56,14 persen), mengalami pertumbuhan tertinggi di antara sektor lainnya dengan laju 17,60 persen. Perbankan syariah dengan porsi sebesar 36,67 persen dari total aset keuangan syariah mampu tumbuh positif dengan laju 9,93 persen. Sementara itu, IKNB syariah yang memiliki porsi 7,19 persen dari total aset keuangan syariah mengalami peningkatan aset 8,70 persen.
Untuk memelihara keberlanjutan kon tribusi industri keuangan syariah, segala upaya perlu dilakukan termasuk di bidang pemasaran melalui pendekatan 'people'. Mengelola karyawan dari perspektif pemasaran sering terlupakan karena organisasi lebih fokus pada external marketing, yaitu bagaimana menyiapkan strategi product, price, place, dan promotion (4P).
Padahal, untuk menerapkan strategi pemasaran jasa yang sukses, external marketing dan internal marketing harus dilaksanakan secara seimbang. Pentingnya mengelola 'people' pada organisasi jasa juga karena adanya sifat inseparability, artinya produksi dan konsumsi dilakukan bersamaan.
Karyawan frontline atau garis depan sebagai wakil organisasi harus bertemu langsung dengan nasabah, sehingga mereka menilai organisasi dari kinerja karyawan garda depan. Untuk itulah karyawan harus bersatu padu mengharmonisasikan nilai dan sumber daya yang dimilikinya demi kepuasan nasabah.
Namun, kenyataan berkata lain. Dalam banyak kasus, karyawan frontline seperti tenaga penjual, misalnya, hanya fokus pada capaian individu dan mengabaikan nilai-nilai agama. Individualisme menyebabkan keengganan untuk membantu rekan kerjanya dalam rangka saling mendukung dan menguatkan.
Sementara itu, pengabaian nilai-nilai religi menyebabkan upaya pencapaian target yang membabi buta sehingga menghalalkan segala cara. Karena itu, semangat fastabiqul khoirat diperlukan untuk memecahkan masalah ini.