REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Fitriyan Zamzami, Jurnalis Republika
Pada 2 Oktober lalu, polemik itu dimulai. Pemantiknya adalah pidato Presiden Prancis Emmanuel Macron yang secara pukul rata menyatakan Islam sebagai agama dalam krisis. Pandangan itu ia teguhkan guna mendukung rencana penerbitan regulasi yang akan membatasi penampilan umat Islam di Prancis, yang meliputi 6 sampai 10 persen warga Prancis.
Sekolah-sekolah swasta Islam yang selama ini jadi pilihan orang tua-orang tua Muslim yang ingin anak gadis mereka bisa berhijab akan segera ditutup. Pelarangan hijab yang dipandang sebagai simbol keagamaan akan ditegakkan di wilayah publik. Pendanaan-pendanaan masjid akan ketat diawasi, hanya boleh menerima donasi di dalam negeri. Imam-imam dan penceramah tak boleh belajar di luar negeri.
Latar kekiniannya, memang hubungan Muslim Prancis dengan pemerintah tak bisa dibilang baik-baik saja. Persoalan lintasgenerasi imigran Muslim yang merasa jadi warga kelas dua, sekularisme ekstrem yang tak mengindahkan perasaan komunitas Muslim, serangan-serangan ekstremis Muslim di Tanah Prancis, bangkitnya Islamofobia di kalangan sayap kanan, dan sebagainya.
Namun jika menengok lebih jauh ke belakang, yang dilakukan Macron adalah gema dari sejarah panjang yang mengkhawatirkan. Sejarah propaganda, kabar palsu dan syakwasangka penuh kebencian. Sejarah yang jika diingat baik-baik, semestinya bisa membuat Macron berhati-hati dengan lidahnya.
Hoaks I: Babad Roland
Orang barangkali jarang paham bahwa karya sastra paling tua dari wilayah Prancis yang masih bertahan sampai saat ini berisi juga penggambaran penuh kebohongan tentang umat Islam. Puisi itu berkisah soal pertempuran antar pahlawan Frankis, Roland di bawah kekuasaan Raja Charlemagne melawan invasi asing pada akhir abad ke-8.
Dalam kisah puitis tersebut, pasukan Muslim digambarkan demikian brutal dan keliru. Umat Islam diceritakan menyembah Muhammad; Apollo, dewa bulan dari Yunani; dan seorang dewi lainnya bernama Termagant. Muslim digambarkan sebagai anti-Kristus yang harus dilenyapkan dari muka bumi. Bahkan anak-anak Muslim yang baru belajar alif-ba-ta saja bisa kasih tahu bahwa hal tersebut bohong.
Kebohongan lainnya, temuan sejarah lainnya kemudian menunjukkan bahwa pasukan Charlemagne yang dipimpin Roland sedianya bukan berperang pasukan Muslim melainkan pasukan pagan/kristen kerajaan Basque di utara Spanyol pada pertempuran di Roncevaux pada 778 itu. Ironisnya, Charlemagne justru dapat dukungan pasukan dari sebagian pasukan Islam dari Spanyol.
Apa kemudian tujuan kebohongan di babad yang dikenal luas sebagai Song of Roland itu? Perlu dicatat bahwa puisi itu disusun pada abad ke-11 sebagai propaganda yang membawa kita pada kebohongan dari Prancis lainnya.
- Keterangan Foto: Sampul buku 'Song of Ronald'.
Hoaks II: Perang Salib
Menjelang akhir abad ke-11, seorang Prancis bernama Odo dari wilayah Chatillon terpilih sebagai paus Gereja Katolik Roma dan ditahbiskan dengan nama Urban II. Saat ia naik tampuk, Gereja Katolik sedang dalam keadaan terpecah belah. Sejarah berbelok ketika kemudian Paus Urban II meyampaikan khotbahnya pada 27 November 1095 di Clermont yang terletak hampir tepat di tengah Prancis modern. Kala itu, Paus Urban II menyerukan perang suci guna membantu Bizantium mengadang kekuatan Kesultanan Seljuk serta mengambil kembali Tanah Suci Yerusalem. Ia menjanjikan siapa saja yang ikut perang bakal dapat penebusan dosa.
Dalam naskah pidatonya kala itu, Paus Urban II menceritakan bagaimana Muslim di Palestina memerkosa perempuan Kristen, mengalirkan darah di air baptis serta altar gereja. Bagaimana umat Islam secara kejam melakukan pembunuhan, mutilasi, dan penyiksaan. Catatan valid dari pihak umat Islam dan gereja timur, serta analisis sarjana barat belakangan nyaris seragam menyatakan tak terjadi hal-hal keji itu sepanjang Yerusalem dikuasai Muslim.
- Keterangan foto: Paus Urban II
Bagaimanapun, seruan Puas Urban II disambut ramai jelata dan bangsawan. Gelombang pasukan salib pertama, kebanyakan dari kalangan masyarakat bawah, dipimpin Peter Sang Pertapa, juga seorang Prancis. Kemudian menyusul sejumlah panglima dari Prancis dan Jerman. Pasukan itu kemudian tiba di Yerusalem pada 1099, berhasil mengalahkan pasukan Muslim, dan kemudian melakukan pembantaian massal.
Sejarah kemudian mencatat, Yerusalem berhasil direbut Salahuddin Alayubi pada abad ke-12. Serbuan Salahuddin tak lepas dari kecerobohan seorang bangsawan Prancis, Renault dari Chatillon yang berulang kali melanggar perjanjian gencatan senjata, bahkan mengancam rombongan peziarah menuju Makkah dan Madinah. Renault kemudian dibunuh dengan tangan Salahuddin sendiri sementara penguasa Yerusalem saat itu yang juga merupakan bangsawan Prancis, Guy dari Lusignan, didepak dari Tanah Suci.
Perang Salib kerap diceritakan sebagai perang agama Kristen melawan Islam. Meski demikian, jika menengok para panglima serta raja-raja yang terlibat peperangan tersebut, sebagian besar perang itu lebih presisi sebagai pertempuran antara pasukan Frankis dari wilayah Prancis melawan sejumlah kerajaan Islam yang berbeda-beda dari Kesultanan Seljuk, Dinasti Fatimiyyah, Dinasti Ayyubiah, dan akhirnya Mamluk.
Setelah itu, ratusan tahun kemudian bertubi-tubi Prancis melakukan invasi ke wilayah Muslim dan kemudian terusir. Di antaranya ekspedisi Napoleon Bonaparte ke Mesir sampai kolonialisasi Aljazair dan Tunisia sejak abad ke-18 hingga selesai Perang Dunia II. Dalam hitungan manapun, ratusan ribu pribumi kala itu dihabisi pasukan Prancis, pejuang kemerdekaan maupun warga biasa.
Hoaks III: Perang Libya
Yang terkini dilancarkan administrasi Presiden Nicolas Sarkozy pada 2011 silam. Kala itu, Prancis berhasil meyakinkan NATO melakukan agresi militer ke Libya untuk menumbangkan Muammar Qaddafi.
Penyelidikan yang dilakukan Parlemen Inggris pada 2015 kemudian menyimpulkan bahwa agresi tersebut tak beralasan. Dengan kata lain, Prancis membohongi sekutu-sekutunya untuk terjun dalam perang yang memporak-porandakan Libya hingga saat ini.
- Keterangan foto: Ekpresi wajah Presiden Prancis Nicolas Sarkozy dan pemimpin Libya Muammar Gaddafi saat penandatanganan kontrak perdagangan senilai 10 miliar euro antara kedua negara di Istana Élysée di Paris pada 10 Desember 2007.
Komisi Hubungan Luar Negeri Inggris menyimpulkan dalam investigasinya, tak benar bahwa Qaddafi akan melakukan pembantaian massal terhadap warganya seperti yang digembar-gemborkan Prancis. Setidaknya, tak cukup bukti-bukti pada 2011 bahwa Qaddafi berencana melakukan pembantaian tersebut.
Kesimpulan selanjutnya, ternyata ada motif ekonomi dan politik dibalik invasi Prancis. Bocoran email kepada Menlu AS Hillary Clinton yang ikut mendukung serangan itu menunjukkan bahwa Prancis khawatir dengan rencana Qaddafi membentuk mata uang tunggal di Afrika berlandaskan dinar dan dirham. Rencana tersebut bukan omong kosong karena Libya diketahui memiliki reservasi emas dan perak dalam jumlah besar kala itu. Jika rencana itu berlangsung, cengkeraman perekonomian Prancis di negara-negara Afrika bekas jajahan bakal musnah.
Semua sejarah masa lalu tersebut semestinya bisa ditinggal di belakang. Ia tak perlu memengaruhi upaya-upaya damai pada masa kini. Ia mestinya cukup jadi pelajaran soal betapa bahayanya narasi-narasi tertentu. Sayangnya manusia, terutama di bawah tekanan tahta kekuasaan politik, nampaknya makhluk yang malas belajar dari masa lalu…
----------------
Sumber-sumber tulisan:
Antonio A. García, In the Shadow of a Mosque: Mapping the "Song of Roland", 2010
August. C. Krey, The First Crusade: The Accounts of Eyewitnesses and Participants, 1921
Karen Armstrong, Holy War, 1988
Tamim Ansari, Destiny Disrupted: A History of the World Through Islamic Eyes, 2009
House of Commons Foreign Affairs Committee, Libya: Examination of intervention and collapse and the UK’s future policy options Third Report of Session, 2016–17
https://wikileaks.org/clinton-emails/emailid/6528