Selasa 08 Sep 2020 14:21 WIB

Pesta Gay di tengah Pandemi

Tersangka TRF bahkan sudah enam kali menggelar pesta gay sejak 2018.

Para tersangka (baju oranye) penyelenggara pesta seks sesama jenis atau gay di Kuningan, Jakarta Selatan beserta barang bukti saat konferensi pers di Mapolda Metro Jaya.
Foto: EPA-EFE/MAST IRHAM
Para tersangka (baju oranye) penyelenggara pesta seks sesama jenis atau gay di Kuningan, Jakarta Selatan beserta barang bukti saat konferensi pers di Mapolda Metro Jaya.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Agus Yulianto*

Kondisi Indonesia, khususnya wilayah Ibu Kota Negara Jakarta, semakin mengkhawatirkan, akhir-akhir ini. Tidak hanya melulu masalah pandemi Covid 19 yang telah memporakporandakan perekonomian dan kesehatan masyarakat, yang harus dihadapi hingga kini. Namun, juga persoalan moral sebagian masyarakatnya yang sudah menyimpang jauh dari ajaran agama.

Betapa tidak, di tengah pandemi Covid-19 yang tengah merebak saat ini, sebagian dari masyarakat ibu kota tersebut justru menggelar pesta seks menyimpang sesama jenis (gay). Mereka seakan tak memiliki empati terhadap kondisi bangsa yang tengah 'perang' melawan penyebaran virus Covid-19.

Ya, malam itu, Sabtu (29/8) sekitar pukul 00.30 WIB, sedikitnya 56 orang pemuda berusia 20-40 tahun, berkumpul dalam satu kamar sebuah apartemen di wilayah Kuningan, Jakarta Selatan. Di saat mayoritas warga mati-matian menghindari penyebaran covid dengan tidak melakukan kerumunan, tapi mereka justru mengadakan pesta seks gay dengan berbagai macam permainan atau games di antara sesamanya.

Beruntung, aparat kepolisian melakukan penggerebekan terhadap aktivitas tersebut. Bahkan, berdasarkan hasil pemeriksaan kepolisian, para pelaku seks sesama itu, melakukan berbagai jenis permainan. Permainan yang mengarah penyimpangan seksual itu konon dipelajari oleh salah seorang tersangka TRF, saat berada di Thailand.

Sejumlah barang bukti juga ditemukan di kamar saat pesta gay tersebut dilakukan. Di antaranya delapan kotak alat kontrasepsi, satu kotak 'tissue magic', satu buku registrasi, tiga botol pelumas, delapan botol obat perangsang, dan bukti transfer pembelian tiket masuk pesta.

Tak hanya kali ini, tersangka TRF ternyata telah menjalankan bisnis birahi sesama jenis itu sejak 2018. Ironisnya, aktivitas ini lolos dari pengamatan aparat dan masyarakat.

Perilaku seks menyimpang penyuka sesama jenis ini, sebenarnya sudah terjadi sejak pada zaman Nabi Luth berabad-abad sebelum Masehi. Kala itu, hidup sekelompok manusia yang gemar melakukan perbuatan nista. Para prianya merupakan gay yang selalu melakukan homoseksual. Para wanitanya pun melakukan hal sama, lesbian.

Padahal, tak pernah ada sebelumnya umat manusia yang melakukan perbuatan keji dan nista tersebut. Mereka merupakan bangsa Sodom, salah satu kaum Arab kuno yang dihancurkan Allah SWT dan tak lagi tertinggal satu pun keturunannya.

Begitu banyak kisah para pengingkar agama yang berakhir dengan azab Allah. Tapi, sebelum azab itu dijatuhkan, tentu umat bandel tersebut menjalani kehidupan yang nyaman versi mereka. Begitu juga dengan umat di zaman modern ini.

Peringatan dan azab Allah SWT yang ditimpakan pada umat sebelumnya, tak mereka hiraukan. Buktinya, tak sedikit kelompok yang mereka buat untuk memuaskan syahwatnya.

Dikutip dari The Independent sejumlah destinasi wisata ramah LGBT di dunia berada Lesbos. Kota ini merupakan tempat lahir Sappho, penyair Yunani yang menulis puisi tentang hubungan sesama jenis. Kemudian Israel yang diperkirakan 25 persen populasi LGBT dunia mengunjungi negeri ini setiap tahunnya.

Ada juga Sydney, Australia. Sebelum pernikahan sesama jenis disahkan di sini, Sydney telah lama menjadi destinasi wisata turis LGBT. San Francisco, Amerika Serikat. Kota ini memiliki sejarah panjang mengenai LGBT. Salah satunya di Compton's Cafeteria dan Castro District yang menjadi lokasi pertemuan aktivis LGBT sejak 1940. Selain itu ada juga Berlin, Jerman; Brighton, Inggris; Copenhagen, Denmark; dan juga Sitges, Spanyol.

Bahkan, Badan Pariwisata Dunia UNWTO juga mencatat akan ada 180 juta turis LGBT hingga 2030 mendatang. Ini jelas sangat menguntungkan bagi negara-negara seperti di atas karena bisa menghasilkan devisa yang cukup besar. Apalagi, mereka pun memiliki event tetap setiap tahunnya.

Namun, berbeda dengan Indonesia. Tidak ada event khusus yang diadakan setiap tahun. Karena Indonesia dengan tegas melarang aktivitas seperti itu. Jauh dari etika dan budaya ketimuran bangsa kita.

Meski demikian, ada juga kelompok-kelompok atau perkumpulan yang melakukannya secara sembunyi-sumbunyi. Beberapa contoh pesta sesama jenis yang pernah digelar dan digrebek petugas di antaranya: di Griya Manis Blok A, Sunter Agung, Jakarta Utara pada 2018 lalu. Anggota Polres Metro Jakarta Pusat mengamankan 23 pria yang diduga penyuka sesama jenis (gay) saat pesta ekstasi.

Kemudian, penggerebekan pesta seks gay di Kelapa Gading, Jakarta Utara. Sejumlah orang yang ditangkap saat penggerebekan PT. Atlantis Jaya di Ruko Kokan Permata Blok B 15-16 Kelapa Gading RT 15/RW 03 Kelapa Gading Barat, Jakarta. Insiden penggerebekan 141 pria diduga homo seksual ini bahkan menjadi sorotan dunia.

Pernikahan sejenis di Bali dan gay menjadi bahan perbincangan netizen. Pada September 2015, warga Bali dihebohkan dengan pernikahan pasangan dua pria di sebuah hotel di daerah Ubud Kabupaten Gianyar, Bali. Di Indonesia pernikahan sejenis melanggar Pasal 1 Ayat 1 Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan.

Kemudian juga pesta gay Surabaya pada awal Mei 2017. Masyarakat Surabaya dikejutkan dengan pesta gay yang diduga dilakukan di dua kamar di Hotel Oval Surabaya. Pesta seks gay di Ruang 203 dan 314 itu digerebek jajaran unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polrestabes Surabaya. Dalam kejadian tersebut sebanyak 14 orang ditangkap. Di mana lima dari 14 orang peserta pesta seks gay itu positif mengidap Human Immunodeficiency Virus (HIV).

Dan yang teranyar, Polda Metro Jaya menggerebek pesta seks gay di sebuah apartemen di wilayah Kuningan, Jakarta Selatan, Sabtu (29/8/2020) sekitar pukul 00.30 WIB. Sebanyak 56 orang diamankan dalam penggerebekan itu. Para tersangka kasus pesta gay di Kuningan, Jakarta Selatan ini menyewa satu kamar hotel seharga Rp 1,3 juta.

Dalang pesta gay yang menjadi tersangka TRF bahkan sudah enam kali menggelar acara serupa sejak 2018. TRF dan kelompoknya, mengumpulkan peserta dalam grup yang bernama Hot Space Indonesia. Dalam grup obrolan dari aplikasi WhatsApp itu, diketahui ada 150 orang yang ikut bergabung.

Seluruh acara tersebut, bahkan diselenggarakan di berbagai tempat yang berbeda di wilayah DKI Jakarta. Konyolnya lagi, aktivitas mereka ini tak terdeteksi oleh aparat berwajib maupun masyarakat.

Kondisi ini jelas membuat Majelis Ulama Indonesia (MUI) menjadi geram. MUI meminta agar semua komponen bangsa ikut bertanggung jawab atas dilakukannya pesta gay yang terjadi berulang kali. Sebab, aktivitas itu sudah menjadi kesesatan dan menunjukkan bejatnya pelaku.

 

"Itu adalah penyakit kronis yang harus dihilangkan," tegas Wakil Sekretaris Jenderal MUI KH Zaitun Rasmin.

Namun, KH Zaitun menyarankan, agar dilakukan pembinaan kepada mereka untuk diobati dan disadarkan. Selain dengan bantuan Psikolog Klinis, para pelaku gay atau LGBT juga diharapkan bisa berkomunikasi dengan ahli agama. Intinya, semua pihak harus bertangung jawab untuk mengembalikan moral mereka kepada yang benar.

 

Maka, untuk menghindari aktivitas serupa ke depannya, tentunya perlu ada pengawasan ketat dan sanksi yang berat, khususnya melalui pihak kepolisian dan pemerintah daerah. Sehingga, hal itu akan membuat jera para pelakunya. n

*) Penulis adalah jurnalis republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement