REPUBLIKA.CO.ID, oleh Teguh Firmansyah*
Kalau ditanya siapa pemimpin negara yang paling 'lihai' dalam bermain politik untuk era saat ini, saya akan menyebut tiga nama. Ketiganya yakni Presiden Rusia Vladimir Putin, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan, dan Presiden China Xi Jinping.
Penilaian ini bukan soal benar atau salah mereka atau isu pelanggaran HAM di negara masing. Namun ini lebih bagaimana ketiganya bisa bertahan dalam intrik politik kekuasaan di dalam maupun luar negeri.
Vladimir Putin misalnya, kepiawaian politik ia sudah tidak diragukan lagi. Putin 'mengakali' peraturan agar bisa terus bertahan memimpin Rusia. Putin yang juga bekas agen dinas rahasia KGB ini memimpin Rusia sejak 1999.
Ia menjadi Perdana Menteri usai ditunjuk oleh Boris Yeltsin. Pada tahun 2000, Putin terpilih menjadi Presiden dan menjabat hingga dua periode sampai 2008. Namun karena jabatan presiden dibatasi dua periode, Putin tak bisa lagi jadi presiden.
Ia tak begitu saja menyerah mundur dari kekuasaan. Putin lantas terpilih sebagai perdana menteri dari 2008-2012. Adapun presiden Rusia dijabat oleh sekutu dekatnya, Dmitry Medvedev.
Meski tak menjadi presiden, Putin tetaplah sosok yang sangat berpengaruh. Ia menjadi otak dalam kebijakan-kebijakan strategis Rusia. Di era Medvedev, parlemen sepakat untuk memperpanjang masa jabatan Presiden dari sebelumnya empat tahun selama satu periode menjadi enam tahun. Artinya presiden yang terpilih pada 2012, bisa berkuasa hingga 2024. Perubahan itu bukan untuk Medvedev, melainkan untuk Putin.
Dan benar saja, pada 2012, Medvedev mundur dari presiden dan digantikan oleh Putin. Saat ini, meski 2024 masih tersisa tiga tahun lalu, Putin telah mengambil ancang-ancang untuk tetap berkuasa lewat jalan amandemen konstitusi. Amandemen pun disetujui dalam sebuah referendum beberapa waktu lalu.
Dengan demikian, Putin bisa berkuasa hingga 2036. Dalam amandemen itu disisipkan klausul Presiden bisa menjabat hingga empat periode. Artinya masih akan ada 12 tahun lagi bagi Putin berkuasa, jika tetap maju pada 2024 mendatang.
Selama memimpin Rusia, Putin sangat aktif dalam bermain politik luar negeri. Salah satu pertarungan politik Rusia dan negara Barat yakni saat konflik Ukraina dan Suriah. Barat yang mencoba menggoyang pengaruh Putin di Ukraina, harus membayar mahal dengan pencaplokan Krimea pada 2014. Putin mengerahkan militernya di wilayah utara Ukraina, dan membuat negara tersebut bergejolak.
Barat menjatuhkan beragam sanksi ke Rusia. Namun Rusia bergeming. Eropa justru tak berani terlalu jatuh memberi sanksi ke Moskow karena khawatir dengan penghentian pasokan gas. Seperti diketahui Rusia merupakan pengekspor pasokan alam terbesar ke Rusia selama 50 tahun terakhir. Rusia memiliki 'kartu' Eropa.
Demikian pula di Suriah. Berulang kali Barat ingin menjatuhkan Presiden Bashar al-Assad, namun tak juga berhasil. Rusia memiliki kepentingan strategis di Suriah mengingat Moskow memiliki pangkalan militer di sana. Karena itu, Rusia membela mati-matian pemerintahan Assad baik dari milisi ISIS maupun oposisi Suriah yang didukung Barat.
Erdogan
Lantas bagaimana dengan Presiden Erdogan. Boleh dibilang Erdogan berhasil menyelamatkan kekuasannya juga dengan berbagai intrik politik. Senada dengan Putin, Erdogan bermain lewat jalur perubahan konstitusi.
Seperti diketahui Erdogan sebelumnya adalah seorang perdana menteri. Mantan wali kota Istanbul itu terpilih menjadi perdana menteri pada 2003. Ia berkuasa selama tiga periode hingga 2014. Setelah 2014, ia tidak bisa lagi berkuasa karena sudah dibatasi oleh aturan.
Namun Erdogan tak hilang cara. Ia lantas terpilih menjadi Presiden Turki. Di era-era sebelumnya, jabatan presiden lebih ke simbolis. Artinya kekuasan penuh berada di tangan perdana menteri.
Di era Erdogan presiden, semua aturan itu diubah. Erdogan dan sekutunya mengubah konstitusi pada 2017 dan menjadikan negara menganut sistem presidensial.
Erdogan yang terpilih lagi pada 2018 berhak mengangkat dan memberhentikan para menteri secara langsung. Adapun jabatan perdana menteri dihapus untuk pertama kalinya dalam sejarah Turki.
Politikus Muslim yang berangkat dari jalur Partai Keadilan dan Pembangunan ini juga selamat dari upaya kudeta pada 2016 lalu. Sejumlah elite militer masih banyak yang mendukung Erdogan.
Menyusul kudeta gagal ini, Erdogan melakukan penangkapan besar-besaran terhadap pengikut Fethullah Gulen. Dan hingga kini ia terus melakukannya. Gulen menjadi semacam jargon politik organisasi terlarang di Turki. Siapa saja yang dikenakan tuduhan terkait dengan Gulen bisa ditangkap.
Sebagai sosok politikus Turki yang paling berpengaruh sejak era Kemal Ataturk, Erdogan mendongkrak popularitasnya lewat pertumbuhan ekonomi. Ia berhasil membuat ekonomi Turki melejit.
Namun kondisi ekonomi saat ini membuat Turki cukup terpukul. Mata uang lira bahkan sempat terporosok cukup jauh. Namun Erdogan tak kehabisan cara untuk tetap mempertahankan popularitasnya. Ia bisa membangkitkan rasa nasionalisme bangsa dengan beragam cara.
Erdogan melakukan operasi militer terhadap kelompok Kurdi, melayangkan serangan politik ke Yunani, dan terakhir langkah kontroversialnya mengubah Hagia Sophia menjadi masjid.
Secara ideologis, Erdogan memiliki mimpi besar untuk mengubah Hagia Sophia kembali difungsikan sebagai masjid. Pada 2018, Erdogan bahkan pernah membacakan ayat Alquran di sana. Erdogan dalam satu kesempatan wawancara mengingatkan bagaimana saat Sultan Mehmet II melakukan shalat pertama di Hagia Sophia ketika melakukan penaklukan.
Bagi Erdogan, mengubah status Hagia Sophia dari museum menjadi masjid adalah urusan kedaulatan. Ia tak menggubris tekanan dari berbagai negara, termasuk AS atau Paus sekalipun. Dengan langkah ini, ia akan dikenang sebagai pemimpin Turki yang mengembalikan Hagia Sophia kembali menjadi masjid.
Di tingkat politik kawasan, Erdogan sangat terlibat aktif dalam konflik di Suriah dan Libya. Turki secara terang-terangan membela pemerintahan Libya di Tripoli melawan Jenderal Khalifa Haftar yang didukung Mesir, Uni Emirat Arab, dan Rusia. Berkat dukungan Turki, pemerintahan di Libya kini selangkah lebih maju dibanding Haftar.
Erdogan juga memberikan pasokan senjata buat oposisi di Suriah. Saat Muhammad Mursi, presiden Mesir dari Ikhwanul Muslim digulingkan, Erdogan termasuk yang terdepan membelanya.
Xi Jinping
Lantas bagaimana dengan Presiden Xi Jinping. Di bawah Xi Jinping, China menjadi negara yang sangat ekspansif. Secara kekuasaan di dalam negeri, Xi Jinping mungkin lebih stabil dibanding dari Erdogan. Ini mengingat kebijakan China yang menganut sistem satu partai.
Kekuasaan akan sangat ditentukan oleh intrik politik di dalam tubuh Partai Komunis China. Xi Jinping berhasil menguasai intrik-intrik politik tersebut. Sama dengan Erdogan dan Putin, ia juga melakukan perubahan pada konstitusi yang bisa membuatnya lebih lama berkuasa.
Pada 2018, parlemen China menyetujui perubahan konstitusi yang membuat Xi Jinping bisa menjadi presiden seumur hidup. Padahal presiden terdahulu hanya memimpin selama dua periode.
Di bawah Xi Jinping, China juga melakukan ekspansi dengan kebijakan Belt and Road Initiative (BRI). China menggelontarkan multimiliar dolar untuk proyek infrastruktur di berbagai negara.
China berinvestasi dari mulai Asia Tenggara, Eropa Timur hingga Afrika. Setidaknya 71 negara yang tergabung dalam proyek ini, dan Indonesia masuk di antaranya. Lewat kebijakan ini, China menancapkan pengaruhnya di dunia menyaingi Amerika Serikat yang menguasai sektor keuangan.
Namun proyek ini bukan tanpa risiko. Sejumlah negara telah meminta negosiasi ulang mengingat beratnya bunga yang harus dibayar. Malaysia termasuk di antaranya yang melakukan renegosiasi. Beberapa negara di Afrika juga mengajukan keringanan pembayaran, apalagi di tengah kondisi pandemi saat ini.
Tapi bagaimanapun China telah berhasil menancapkan kuku-kukunya di belahan dunia. China tak khawatir dengan sanksi yang dijatuhkan oleh Amerika Serikat sekalipun.
Alih-alih 'berlutut' minta maaf, China justru membalas sanksi yang dijatuhkan oleh Paman Sam. Baru-baru ini misalnya, China menjatuhkan sanksi ke pejabat AS sebagai balasan sanksi Washington terhadap petinggi Beijing terkait etnis Uighur.
China juga menancapkan kekuatannya lebih tajam di Hong Kong, lewat UU Keamanan Nasional. China berani 'melawan' Inggris dan Australia yang menentang undang-undang tersebut. Beijing juga tak takut berkonflik dengan negara-negara tetangganya terkait sengketa perbatasan. Dari mulai dengan India, negara-negara Asia Tenggara soal Laut China Selatan, Jepang, atau Indonesia sekali pun.
China tak khawatir karena mereka telah menjadi bagian utama dari rantai produksi global. Jejaring utang China telah menebar di banyak negara. Kekuatan militer China juga tak bisa dianggap remeh. Beijing telah melakukan investasi besar-besaran di sektor militer dalam beberapa tahun terakhir.
Melihat tiga nama itu, bagaimana dengan Trump sebagai presiden AS? Dari sisi internal di AS, saya mengaggap Trump merupakan sosok presiden yang mengedepankan gagasan bernuansa rasial untuk mendongkrak popularitasnya di kalangan konservatif kulit putih. Dari mulai pembatasan imigran, hingga sebutan 'Kung flu' untuk menyinggung virus Corona yang berasal dari China. Siasat Trump ini belum teruji karena ia harus membuktikannya pada pemilu tahun ini.
Cara-cara Trump, bahkan mendapat penolakan dari dalam negeri, terutama oleh kalangan Demokrat. Dari sisi kebijakan luar negeri, Trump juga tak istimewa, kecuali hanya melancarkan perang dagang dengan China.
Trump mengubah gaya Obama yang ingin 'merangkul' dengan kebijakan sanksi dan sanksi. Siapa pun yang melawan AS akan dijatuhkan sanksi. Hingga kini tidak ada istimewa dari kebijakan Trump sebagai pemimpin negara berpengaruh di dunia.
*) Penulis adalah jurnalis Republika.co.id