REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Dr Suryadi MA, Pengajar di Universitas Leiden, Belanda
Inilah kisah kilas balik pengalaman ulama dan pujangga Buya Hamka terkait dengan persinggungan dengan kaum Komunis di awal masa kemerdekaan. Sumber tulisan ini berasal dari salinan arsip berupa artikel yang tersimpan di perpustakaan Univeritas Leiden, Belanda. Tulisan Buya Hamka tersebut dimuat pada majalah: Aliran Islam. Suara Kaum Progresif Berhaluan Radikal No. 52, Tahun Ke VII, Agustus 1953 [Nomor Madiun Affair]: halaman 60-64.
Dalam tulisan ini penulis sudah menyelaraskan ejaan sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia sekarang. Angka dalam tanda “{ }” merujuk pada halaman asli majalah tersebut. Kata-kata dalam tanda “[ ]” merupakan tambahan dari penyalin. Ilustrasi berupa foto dalam artikel ini berasal dari teks aslinya (halam.60). Catatan lainnya: dalam teks aslinya tertulis ejaan 'komunis' dan 'kominis.'
Berikut tulisan Buya Hamka tersebut:
Atas anjuran Bung Hatta, setelah penyerangan Belanda yang pertama, berdirilah di Sumatera Barat “Front Pertahanan Nasional”. Segala tenaga pejuang dan segala partai yang tumbuh laksana jamur, dan segala barisan, dan segala perkumpulan, dikumpulkan tenaganya menjadi satu. [Mereka] diberikan satu sekretariat.
Anggotanya ialah saya sendiri, Chatib Sulaiman, Rasuna Said, Udin dan Karim Halim. Kemudiannya diputuskan saya menjadi Ketua dan Sekretariat [Perkumpulan] itu. Maksud untuk menyatukan tenaga dengan Front ini berhasil. Sejak dari partai yang sekanan-kanannya sampai yang sekiri-kirinya telah bersatu untuk kepentingan nasional.
- Keterangan foto: Buya Hamka
Di Sumatera Barat rakyat dapat bersatu dan Bung Hatta berhubungan sangat rapat dengan pemimpin-pemimpin rakyat. Setiap malam 'Rebo' pemimpin dipanggil berkumpul ke istana [di Bukittinggi] untuk bertukar pikiran. Bachtaruddin, pemimpin Kominis Sumatera Barat pun turut hadir dalam pertemuan itu.
Suasana yang mulai baik itu, yang sampai dapat mengadakan demonstrasi menyambut perwakilan Konsul-konsul dari Jakarta (Australia, Inggris dan Belgia), menjadi bertukar sama sekali setelah Kabinet Amir Sjarifuddin jatuh. Bung Hatta dipanggil pulang ke Jawa dan dia menjadi Perdana Menteri. Rupanya Amir Sjarifuddin telah bersiap melaksanakan apa yang kemudian meletus di Madiun.
Tidak cukup sebulan setelah Bung Hatta menjadi Perdana Menteri, dia datang kembali ke Sumatera Barat. Rupanya bersama dengan Bung Hatta datang pula Amir Sjarifuddin, Sjahrir, Prawoto Mangkoesasmito dan Zainul Baharuddin.
Ada apa?
Masing-masing mencari partainya. Sjarifuddin menyusun “Front Demokrasi Rakyat”, Sjahrir memberi ingat bahwa Partai Sosialis telah pecah. Dia mendirikan Partai Sosialis Indonesia, dan Sjarifuddin bersama Muso telah menggabungkan pecahan partainya ke dalam PKI.
Prawoto memberi ingat kepada partainya sendiri, Masyumi, kemana arah politik yang ada di Jawa sekarang, bagaimana sikap Muso dan Sjarifuddin. Zainal Baharuddin, meskipun duduk dalam KNIP sebagai wakil Pesindo dari Aceh, turut pula memberi ingat, bahwa jiwa Islam masih tetap ada padanya. Dia datang memberi ingat supaya rakyat di Sumatera jangan sampai tenggelam ke dalam arus pertentangan partai-partai yang ada di Jawa.
Kasihan rakyat yang jujur.
Dua kali diadakan pertemuan umum, sekali di muka istana [Bukittinggi], sekali di lapangan banteng Bukittinggi, untuk menyambut wejangan para pemimpin. Rakyat {60} belum tahu bahwa yang datang sekarang ini, tidaklah lagi pemimpin-pemimpin yang bersatu.
Penghargaan kepada Bung Hatta, Sjahrir dan Sjarifuddin masih sama! Semua disambut dengan tepuk tangan. Tetapi bagi orang-orang yang khusus sudah tampak bagaimana wajah jemu dan benci yang terbayang di wajah Sjahrir terhadap Amir Sjarifuddin. Di pertemuan di “Gedong Nasional” [Bukittiggi] (bekas Belverdere di zaman Belanda), diadakan pertemuan khusus. Sjahrir sengaja lambat datang, karena tidak sudi mendengar ucapan Sjarifuddin.
Tidak berapa hari kemudian, mereka telah pulang ke tanah Jawa. Tetapi kesan pertentangan hebat yang ada di Jawa telah mulai [pula] tumbuh di Sumatera Barat. Saya telah mendapat peringatan dari Masyumi supaya hati-hati dengan “Front Pertahanan Nasional” [FPN], jangan sampai diperkuda oleh Komunis. Chatib Sulaiman, yang menjadi kemudi dari Front Pertahanan Nasional selama inipun telah mengganjur surut langkahnya sedikit demi sedikit, sebab mendapat instruksi [dari] Sjahrir. Dan [ia] merobah taktik dengan menggunakan Markas Pertahanan Rakyat Daerah [MPRD].
Suasana di Jawa tambah hangat. FDR [Front Demokrasi Rakyat] tambah memperlihatkan sikap [agresif]. Sedang FPN mulai kendor jalannya. Maka pada waktu itulah dengan aktif pemuka-pemuka Kominis, terutama Anwar Kadir, tampil dalam FPN, meminta supaya FPN diperbaru[i]. FPN perlu untuk menggembleng tenaga rakyat, katanya. Karena desakannya, diadakanlah pertemuan lengkap.
Anwar Kadir menganjurkan supaya Front Pertahanan Nasional diteruskan. Tetapi ditukar namanya menjadi Front Nasional saja. Tujuannya adalah anti Imperialist! Dan dia mendesak, bahwasanya yang pantas menjadi Ketua dari Front Nasional hanya seorang. Sebab orang itu rapat hubungannya dengan rakyat. Lalu orang itu dipuji setinggi langit, sebagai Ulama progressief, ahli pidato yang bersemangat, dan lain-lain sebagainya. Orang itu ialah Ketua FPN selama ini: Hamka!
Dan Sekretaris biar dia saja! Anwar Kadir.
Dari pihak Masyumi tidak banyak [yang] datang dalam rapat itu. Yang banyak hanyalah “partai-partai” yang tumbuh karena “boleh berpolitik”, berpuluh banyaknya. Semuanya setuju, suara bulat, Hamka ketua Front Nasional, Anti Imperialist! Dan untuk mempercermin tenaga rakyat, diminta pula Sdr. H. Udin Rahmany turut dalam Dewan Pimpinan [Front Nasional itu]. Sedang Sdr. H. Udin Rahmany ketika itu adalah Ketua Harian dari pimpinan Masyumi daerah.
“Bagus” benar politik itu. Kominis yang selama ini tidak mendapat pintu ke dalam hati Rakyat, hendak memakai orang yang anti Kominis menjadi kuncinya. Dan Sekretariat hendaknya dalam tangannya.
Kamu tahu! Tiga hari setelah “Front Pertahanan Nasional” hendak dibelok[kan] menjadi “Front Nasional” itu terbentuk, saya dan Sdr. H. Udin Rahmany berkirim surat kepada Front tersebut, bahwa kami tidak sanggup duduk di dalamnya.
Kami menarik diri, habis perkara!
Cepat benar putaran roda pembentukan itu. Tanggal 7 Front itu dibentuk, tanggal 10 September 1948 kami tarik diri, dan tanggal 18 September, pecahlah revolusi Kominis di Madiun.
Dan ketika pecah pengkhiatan Madiun itu, Resident Sumatera Barat, Mr. St. Mohd. Rasjid, meminta bantuan saya “mengamankan” rakyat. Saya diberi oto. Saya bawa Dt. Simaradjo berkeliling. Dan kesempatan ini saya pakai buat menjelaskan pengkhianatan kominis kepada rakyat.{61}
Sebab saya menarik diri, tidaklah jadi terbentuk “Front Nasional”, gagal sebelum dapat dipertalikan dengan pemberontak Madiun.