REPUBLIKA.CO.ID, oleh Indira Rezkisari*
New normal. Kata-kata itu rasanya belum habis dikupas sejak dunia dilanda Covid-19.
Sebagai perempuan pekerja, istri, dan juga seorang ibu saya merasakan beban ekstra ketika seluruh anggota keluarga 'terpaksa dirumahkan'. Bukan faktor mencuci dan memasak yang berat bagi saya. Tapi seorang perempuan dituntut untuk menanggung beban emosional yang lebih besar bagi semua orang di rumah.
Apalagi ketika ada ketakutan memasukkan orang ke rumah akibat Covid-19. Banyak rumah yang memilih merumahkan dulu asisten pulang perginya yang biasa membantu menyapu, memasak, mencuci dan sebagainya. Sebagian lagi terpaksa merumahkan asistennya karena faktor ekonomi alias tidak sanggup membayar tenaga tambahan karena terkena PHK.
Perempuan pun dipaksa jadi sosok perkasa. Ia harus melakukan pekerjaan kantornya, pekerjaan domestiknya, dan kini merangkap sebagai guru di rumah. Syukur-syukur bila suaminya bisa membantu. Dalam kebanyakan kasus, pria sulit melakukan multitugas seperti perempuan. Kalau saya tidak salah studi menyebut kemampuan bermultitugas memang lebih dominan dimiliki perempuan.
Kini saat new normal akan diberlakukan ada tuntutan tambahan bagi kaum perempuan bekerja yang berkeluarga. Ketika sejumlah kantor mulai meminta pekerjanya kembali bekerja dari kantor, tapi belum ada kepastian apakah anak akan belajar lagi di rumah atau di sekolah di tahun ajaran baru.
Mungkin banyak perempuan yang berhadapan dengan dilema. Bagaimana harus meninggalkan anak yang butuh belajar hanya dengan asisten rumah tangga di rumah? Si Mbak belum tentu bisa membantu anak belajar. Atau jika sekolahnya fleksibel, kapan kah ibu bisa beristirahat bila sampai rumah ia masih harus membantu anaknya belajar. Belum lagi membantu anak mengerjakan tugas sekolahnya.
Perempuan pekerja bisa jadi dalam dilema, antara kembali bekerja atau berhenti bekerja demi membantu anak belajar. Bagi perempuan yang sanggup secara ekonomi untuk tidak bekerja, mungkin bukan masalah. Tapi di masa sulit seperti sekarang lebih banyak lagi keluarga yang membutuhkan pendapatan dobel, dari suami dan istri. Apalagi ketika bayang-bayang PHK selalu mungkin terjadi di saat pandemi Covid-19 belum ada obatnya.
Di sinilah, menurut saya, peran pemerintah untuk memperhatikan kondisi seperti itu. Ini adalah era modern ketika perempuan bekerja memiliki posisi yang tidak kalah pentingnya dibanding pria. Semakin banyak posisi tinggi di perusahaan yang dipegang perempuan. Perempuan di posisi tinggi itu juga biasa menciptakan kebijakan yang pro perempuan, dengan alasan sederhana karena mereka paham apa rasanya harus menyeimbangkan banyak aspek dalam kehidupannya.
Saya tidak mau membahas panjang soal peran suami atau ayah di sini. Di era modern, pria masa kini rata-rata tidak kaku seperti zaman ayah di era kakek saya dulu. Melihat pria memasak, pria memandikan anaknya, atau melihat ayah yang mengajarkan anaknya matematika adalah hal lumrah di era modern.
Tapi ketika new normal berlaku dan ibu sudah harus kembali bekerja, sementara anak masih harus sekolah di rumah, maka besar kemungkinan adalah ibu atau perempuan pekerja yang harus mengalah. Bila kondisi tersebut banyak terjadi, bukan tidak mungkin lagi kalau negara ini kembali ke era ketika perempuan sebatas hanya bisa berkarya dari rumah.
Saya bukan menganggap perempuan tidak bisa bekerja dari mana saja. Apalagi di era internet nirkabel, ketika berdagang sekalipun bisa dilakukan perempuan sambil menyusui anaknya.
Tapi keadilan itu harus ada juga di tempat kerja. Tidak adil bila pemerintah tidak mendorong adanya kebijakan kerja yang ramah bagi perempuan pekerja. Tanpanya ketimpangan di tempat kerja akan terjadi. Perusahaan bisa jadi memilih mempekerjakan pria ketimbang perempuan karena faktor-faktor tersebut.
Dalam sebuah studi di Prancis terhadap 34 ribu pekerja level manajemen menemukan perempuan dengan anak di bawah usia 16 tahun memiliki beban kerja domestik yang lebih dibanding pria. Kelebihan jam kerja domestik itu bahkan mencapai 4 jam dalam satu hari. Sedangkan pria dilaporkan memiliki tambahan beban kerja domestik 3 jam ketika ia bekerja di rumah saat lockdown.
Hampir separuh dari perempuan dalam studi menghabiskan tambahan 4 jam sehari untuk mengurus anak-anaknya. Jumlah waktu yang sama hanya dilakukan 26 persen pria dalam studi.
Tebakan saya hal yang mirip berlaku di Indonesia. Bagaimana pun beban perempuan di rumah selalu lebih besar dibanding pria.
Karena itu dibutuhkan kebijakan yang pro perempuan di era new normal. Semoga pemerintah dan pembuat kebijakan lain memahami kebutuhan tersebut dan Indonesia bisa memiliki kebijakan kerja yang ramah bagi keluarga.
*penulis adalah redaktur di Republika.co.id