REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Lukman Hakiem, Peminat Sejarah*
AHMAN HOETMAN, guru Bahasa Indonesia saya di Sekolah Menengah Ekonomi Atas (SMEA) Negeri Karawang, memang beda.
Tidak sebagaimana lazimnya guru Bahasa Indonesia yang gemar mengajarkan teori-teori bahasa seperti definisi kalimat, objek, subjek, dan predikat; Hoetman mendorong para peserta didik untuk mengapresiasi karya-karya sastra para sastrawan Indonesia.
Menurutnya, para peserta didik sudah sejak lahir bisa berbahasa Indonesia, sejak di Sekolah Dasar sudah diajari cara berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Yang belum, menurutnya, menghargai karya sastra.
Padahal, para sastrawan itulah yang telah memberi nyawa kepada bahasa Indonesia. Berulang kali Hoetman mengingatkan murid-muridnya, hanya dengan membaca karya sastra, perbendaharaan bahasa akan bertambah kaya.
Hampir setiap pekan, Hoetman memberi tugas kepada para peserta didik untuk mengeliping cerita pendek atau puisi karya penulis Indonesia. Cerita pendek atau puisi itu kemudian harus diapresiasi dalam tulisan satu sampai dua halaman, dibacakan di depan kelas, kemudian didiskusikan.
Hoetman sendiri sering menunjukkan karya-karya sastra yang menurutnya layak diapresiasi. Di antara karya sastra yang dia puji ialah puisi-puisi Emha Ainun Nadjib, penyair yang baru saja menyeruak di blantika sastra Indonesia.
Saya tidak ingat lagi apa penilaian Hoetman terhadap Emha, yang melekat dalam ingatan saya hingga kini, Hoetman menyebut Emha sebagai generasi baru penyair Indonesia yang berbeda dengan penyair-penyair lain. "Dia punya karakter dan ciri tersendiri," kata Hoetman meyakinkan murid-muridnya.
Sejak di SMEA Karawang itulah, nama Emha Ainun Nadjib melekat di ingatan saya.
Minta Tanda Tangan
SELEPAS bersekolah di Karawang, saya memulai pengembaraan intelektual di Yogyakarta.
Menjelang, saat, dan menunggu hasil ujian masuk IKIP (Negeri) Yogyakarta, saya numpang tinggal sekitar satu bulan di Muallimin Muhammadiyah. Di Muallimin itu, tinggal seorang kerabat, Siti Masyitoh (kelak Prof. Dr., Rektor Universitas Muhammadiyah Jakarta). Ceu Itoh --demikian saya menyapa Siti Masyitoh-- adalah alumni Muallimat Muhammadiyah yang menikah dengan guru dan aktivis Muhammadiyah, Drs. M. Chusnan Jusuf.
Sebagai guru Muallimin sekaligus pembimbing asrama, keluarga Chusnan tinggal di Muallimin. Itulah sebabnya mengapa saya dapat izin khusus numpang tinggal di Muallimin Muhammadiyah.
- Keterangan foto: Pementasan Musik Puisi Emha Ainun Nadjib bersama Teater/Karawitan Dinasti di akhir tahun 1970-an.(sumber foto: Wikiwand)
Saat tinggal di Muallimin itulah, saya berkenalan dengan aktivis Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM), Adil Amrullah, yang sedang mempersiapkan penerbitan majalah IPM, Kuntum.
Dari perkenalan itu, saya tahu Adil adalah adik kandung Emha.
Sambil saya menemani Adil yang sedang me lay-out majalah Kuntum, adik Emha itu banyak bercerita tentang kakaknya. Saya menyimak dengan penuh minat.
Dari Adil itulah saya tahu Emha Ainun Nadjib lebih akrab dengan sapaan Cak Nun. Karena minat itulah, saya mulai membaca dan membeli kumpulan puisi Cak Nun.
Ketika Cak Nun berceramah di IAIN Sunan Kalijaga Yogya, saya datang, dan spesial minta tanda tangan Emha di buku kumpulan puisi M Frustrasi yang baru saya beli.
Barangkali karena saya tidak pernah berhasil menjadi sastrawan, meskipun satu-dua cerita pendek dan puisi saya pernah dimuat di media massa, saya tidak berhasil menjadi teman akrab Emha.