REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Dr. Abdul Kholik, Wakil Ketua Komite I DPD RI
Innalilahi Wainna Ilahi Rojiun, kabar duka menyentak kita semua. Pagi hari, 5 Mei 2020, kabar meninggalnya maestro campur sari Didi Kempot mengejutkan kita semua. Terasa baru lewat sejenak Mas Didi konser Peduli Covid dari rumah yang didesikan untuk kita yang tengah perang melawan wabah dan harus banyak tinggal di rumah.
Saat itu semua sangat terhibur, dan terasa memberikan semangat dan kebersamaan yang tiada tara. Server untuk menampung donasi sempat jebol akibat antrian donatur. Total donasi yang dikumpulkan mencapai Rp. 7,6 Milyar dan semua didedikasikan untuk mengatasi pandemic Covid 19.
Mas Didi memang sangat peduli dampak Covid, dan bisa merasakan betapa dasyatnya dampak wabah ini. Semua aktifitas masyarakat terhenti atau harus dihentikan termasuk puluhan konsernya yang sudah terjadwal. Tidak berhenti di konser, lagu “Ojo Mudik” yang diciptakan dan sempat dinyanyikan dengan Walikota, Kapolres, dan Dandim Solo, memberikan pesan kepada kita semua untuk mengikuti kebijakan larangan mudik yang ditetapkan Pemerintah untuk mencegah penyebaran virus ini di tengah suasana menyambut ritual mudik lebaran.
Kepergian Mas Didi untuk selamanya tentu sangat berat bagi kita. Duka dan kehilangan mendalam akan terus kita rasakan. Terlebih bagi jutaan penggemar, sahabat Ambyar dimanapun berada. Semula kita semua masih menunggu keinginan Mas Didi Konser di Gelora Bung Karno, apa boleh buat takdir akhirnya bukan hanya menunda keinginan Mas Didi itu namun telah memastikan tidak akan terwujud. Sesak hati kita menerima kenyataan itu.
Karya Mas Didi yang mencapai 400-san lagu menegaskan kehebatan dan kesetiaan seorang seniman tanpa batas. Mulai dari merintis mengenalkan dan mempopulerkan musik campaur sari di jalanan hingga membawa campur sari menjadi music yang diterima semua kalangan. Jika kita telusuri genre music ini muncul sejak era 1950an. Musik ini pada dasarnya berasal dari gamelan yang dipadukan dengan alat music moderen. Merujuk penelitian Joko Wiyoso dari UNES Semarang menyebut, campursari awalnya dikenalkan oleh R Syamsi pada tahun 1953-1978 bersama kelompok musik RRI Semarang.
Memasuki era era 1990-an muncul Manthous dan grup campur sari dan mendapat sambutan luas. Ciri khasnya adalah adanya unsur keyboard dengan memadukan gamelan. Setelah era itu Mas Didi dapat disebut sebagai seniman yang sukses mempopulerkan campursari, dengan mengusung pola berbeda karena tidak lagi mengandalkan unsure gamelan. Tetapi lebih memasukan unsur keroncong dan dangdut. Hasilnya campursari yang semula hanya digemari kalangan terbatas kini digandrungi semua kalangan.
Pejuang Bahasa Daerah
Sebagai musik yang basisnya kental dengan nuansa daerah, semua lagu campur sari menggunakan bahasa Jawa. Kelebihan lagu-lagu Mas Didi adalah nuansa patah hati yang dikemas menjadi menarik sehingga di social media dijuluki “The Goodfather of Broken Heart “ dan belakangan menjadi “The Lord of Broken Heart.”
Tidak hanya itu, seting lagu lagunya selalu dekat dengan kehidupan sehari hari dan mengambil idiom-idiom kerakyatan. Stasiun Balapan, Suket Teki, Tatu, Ambyar, Cidro, Pamer Bojo, hanyalah beberapa contoh lagu yang menegaskan curahan hati yang galau karena asmara yang terluka, namun syarat dengan pesan-pesan yang kuat dengan bahasa Jawa yang masuk kategori ngoko, yang banyak digunakan masyarakat secara umum.
Satu hal yang selalu mendominasi dalam video lagu-lagu mas Didi adalah adanya model yang menarik. Sekilas itu hanyalah sebagai unsur pemikat pemirsa sekaligus merefleksikan makna lagu yang patah hati, ternyata belakangan terungkap maksud yang lebih kuat yaitu mendekatkan dengan kalangan muda. Pilihan itu secara sadar dilakukan karena Mas Didi punya tujuan besar sebagai seniman campur sari yaitu menjaga dan melestarikan bahasa daerah.
Pilihan itu sangat kontekstual karena keberadaan bahasa daerah terus mengalami tantangan eksistensi, dan bahkan ancaman kepunahan. Di Indonesia terdapat sekurangnya 718 bahasa daerah, namun sebagain besar mulai ternacam keberadaanya karena kehilangan penutur. Generasi baru yang lahir, yang kini menjadi generasi milenial, tidak selalu mendapatkan transfer bahasa Ibu-nya, sehingga lambat laun menjadi kesulitan dan bahkan tidak menguasai bahasa Ibu. Versi Unesco 13 bahasa daerah mengalami kepunahan di Indonesia.
Tekad Didi melestarikan bahas aderah terungkap ketika bekerja sama dengan seniman milenial Nufi Wardhana yang merilis dan mengarasemen ulang lagu-lagunya dalam bahasa Indonesia. Menurut Nufi, mas Didi sangat mendukung penuh dan meminta agar Nufi banyak mengindonesiakan lagu-lagunya agar anak-anak milenial lebih memahami maksud dan pesan lirik lagunya yang dalam bahasa Jawa.
Sampai saat ini sudah tiga lagu yaitu Suket Teki, Layang Kangen, dan Banyu Langit yang dibuat versi Indonesia video lagu tersebut sudah dilihat ratusan ribu bahkan jutaan kali. Sampai disini, kita harus memberikan penghargaan special. Sebab Pasal 32 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 menegaskan negara menjaga dan memelihara bahasa daerah. Ditengah perjuangan dan upaya negara/pemerintah yang masih minimalis, upaya Mas Didi jelas lebih nyata dan berhasil guna.
Kepergia Didi yang terkesan mendadak, seolah tanpa isyarat mengagetkan kita semua. Mengutip permintaan ke Nufi Wardhana untuk kembali menggubah lagunya yang berjudul Wis Cukup (Sudah Cukup), mungkin itu isyarat beliau yang sudah merasa “sudah cukup”. Tentu kini, kita semua yang harus meneruskan ihtiar mulia mas Didi, melestarikan bahasa daerah. Selamat jalan Mas Didi sang maestro campursari sekaligus pejuang bahasa Daerah.*