Sabtu 07 Mar 2020 11:12 WIB

Krisis Negara, Omnibus Law, Hingga Narasi Besar Pembangunan

Apakab Omnibus Law Merupakan Narasi Besar Pembangunan?

Kontroversi omnibus law (Ilustrasi)
Foto: Republika
Kontroversi omnibus law (Ilustrasi)

Oleh: Isti Nugroho, Aktvis dan Penulis

Pikiran-pikiran besar harus muncul dalam membangun negara, pemikir dan para filsuf, serta teotikus harus berkumpul memikirkah arah yang jelas, ke mana negara Indonesia ini mau menuju. Dalam proses menuju ke tempat yang agung itu diperlukan para ahli berkumpul, memikirkan arah negara menuju negara besar Indonesia yang disegani.

Dalam konteks diskusi mengenai omnibus law, yang akhir-akhir ini dipertentangkan. Pemerintah maunya mengegolkan omnibus law, sejumlah orang, mahasiswa, buruh dan civitas akademi menetangnya. Omnibus law disebutnya sebagai undang-undang celaka, bagi yang tidak setuju.

Pemerintah belum mengumumkan secara resmi, kenapa harus dengan hukum sapu jagat dalam membangun negara (baca : pemerintah), bukankah itu menimbulkan kontradiksi dalam masyarakat.

Ada pertimbangan bahwa omnibus law itu digagas dan dipikirkan untuk mengundang investasi, mempercepat kemakmuran dan menangkal terjadinya krisis ekonomi yang besar. Sebagaimana di negara kita dilanda krisis pada waktu-waktu yang lalu.

Tiga kali krisis yang pernah melanda negara kita, pertama pada masa pemerintahan orde lama, yang dipimpin Sukarno. Pada waktu itu inflasi besar-besaran akibat kebijajan politik mercu suar pemimpin besar revolusi.

Kedua pada pemerintahan Orde Baru Suharto pasca boom oil dan menurunnya hasil bumi Indonesia. Yang ketiga ketika krisis 1998.

Ketiga krisis yang pernah melanda negara kita itu karakternya berbeda- beda. Yang pertama dalam kekacauan politik yang kemudian jatuhnya rezim Orde Lama digantikan Orde Baru. Dan Suharto mampu menyehatkan keruntuhan politik Sukarno dan berhasil mengatasi krisis.

Yang kedua, krisis itu datang dalam suasana politik yang tidak dalam gejolak. Politik Orde Baru Suharto dalam stabilitas terjaga, maka krisis yang terjadi bisa segera teratasi.

Ketiga pada tahun 1998 yang diliputi oleh gejolak politik yang riuh, hingga mengakibatkan pergantian kekuasaan. Dari Orde Baru ke Orde Reformasi.

Tiga kali bangsa kita dan negara kita dilanda krisis dan tiga kali kita bisa mengatasinya. Hingga negara kita tidak sampai bangkrut atau menjadi negara gagal.

Sekarang dalam suasana politik yang relatif tidak bergejolak, pemerintah mau menerapkan omnibus law, menangkal terjadinya krisis dengan undang-undang sapu jagat.

Omnibus law apabila diundangkan apakah menjamin pertumbuhan ekonomi, apa garansinya. Bukankah rencana itu kalau dijalankan akan merugikan buruh, mengekang kebebasan pers dan melemahkan civil society.

Pemerintah punya dasar sendiri, oposisi pun juga punya logika sendiri dalam argumennya. Biasa dalam mengelola suatu pemerintahan terjadi perbedaan pandangan, teori dan lain sebagainya. Yang penting ada dialog yang menyertainya. Perbenturan kepentingan akan terus terjadi dalam dinamika politik.

Kembali ke omnibus law, apakah peraturan itu kalau diterapkan akan menciptakan seluas-luasnya investasi saja atau juga akan menciptakan lapangan kerja yang luas. Karena menciptakan investasi tanpa lapangan kerja hanya akan menambah kesusahan dikalangan rakyat bawah. Omnibus law hanya akan menambah kesenjangan dengan masuknya investasi. Apakah pemerintah sudah mengantisipasinya.

Memang diperlukan narasi besar yang musti dikatakan oleh pemerintah, dan disosalisasikan ke dalam masyarakat. Narasi besar diperlukan dalam mengelola pemerintahan. Pemikir-pemikir besar dunia sering diundang untuk memberikan ceramah dengan tema apa yang sedang terjadi di dunia. Jepang dulu sering mengundang Michel Faucault. Amerika mendatangkan Francis Fukuyama, barangkali Indonesia bisa mengundang penerima hadiah nobel ekonomi bicara dengan intelektual Indonesia untuk mengatakan narasi-narasi besar yang sedang trend di dunia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement