REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Endro Yuwanto *)
Ayu Kurniawati memang menerima kepulangan anaknya, Shalfa Avrila Siani (17 tahun), dari pemusatan pelatihan nasional (pelatnas) senam SEA Games 2019 Filipina di Gresik. Namun ia tak terima alasan di balik kepulangan putri kesayangannya. Alasan tak perawan membuat Ayu meradang.
Ayu mempertanyakan alasan itu. Apalagi, Ayu yang belum percaya, segera memeriksakan Shalfa ke RS Bhayangkara di Kediri. Hasil tes pemeriksaan menunjukkan Shalfa masih perawan. Namun pihak pelatih tak percaya dan meminta Shalfa dites ulang di RS Petrokimia Gresik.
Pencoretan atlet dengan alasan sudah tak perawan tentu tidak bisa dipertanggungjawabkan. Ini bisa dianggap pelecehan terhadap seorang perempuan di ranah olahraga.
Apalagi, pihak keluarga sudah menjelaskan dengan keterangan dari dokter bahwa Shalfa masih perawan. Maka yang dituduhkan pelatih dan orang-orang yang terlibat bisa dianggap fitnah yang kejam. Fitnah kepada Shalfa adalah pembunuhan karakter dan kariernya. Entah apa yang akan terjadi di masa depan jika fitnah ini dibiarkan begitu saja.
Ribut-ribut tentang pemulangan Shalfa pun menjadi viral di mana-mana, baik di media sosial maupun media massa. Setelah beberapa hari viral, Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) membantah isu adanya atlet yang dipulangkan dan gagal ikut SEA Games 2019 karena masalah tidak perawan. Menurut Menpora Zainudin Amali, alasan atlet tersebut gagal disertakan dalam SEA Games di Filipina karena masalah indisipliner.
KONI Jawa Timur (Jatim) juga mengamini pernyataan Menpora. Ketua Harian KONI Jatim M Nabil mengatakan pihaknya telah menerima laporan pelatih timnas. Laporan itu menyebut pencoretan Shalfa dilakukan karena remaja 17 tahun ini melakukan tindakan indisipliner, bukan soal keperawanan.
Pengurus Besar Persatuan Senam Indonesia (PB Persani) pun membantah bahwa pemulangan Shalfa karena soal keperawanan. Ketua Umum Persani Ita Yuliati Irawan menyatakan hal itu murni karena prestasi atlet yang menurun drastis.
Soal perawan atau tidak perawan memang ranah pribadi yang seharusnya bukan urusan orang lain. Ranah pribadi yang tidak boleh dimasuki oleh pihak mana pun. Maka sangat aneh jika benar pelatih mempersoalkan keperawanan seorang atlet putri.
Selain bentuk pelecehan terhadap kaum perempuan, ini juga merupakan bentuk diskriminasi yang parah. Mengapa atlet putra tidak dipersoalkan tentang keperjakaannya? Sekali lagi, keperawanan atau keperjakaan tentu tidak mempengaruhi prestasi seseorang di bidang olahraga. Kapan olahraga Indonesia bisa maju jika ranah pribadi dicampuradukkan dengan pencapaian prestasi?
Lalu, adakah aturan soal tes keperawanan untuk atlet senam? Persani sudah menegaskan tak ada peraturan di pelatnas yang mengharuskan tes keperawanan untuk atlet senam putri. Informasi yang bersifat privat itu juga tidak ada kaitannya dengan persyaratan mengikuti SEA Games 2019. Ada contoh sejumlah atlet yang sudah menikah namun tetap aktif di olahraga senam.
Ita Yuliati Irawan menyatakan, akan menindak tegas bila benar ada pelatih yang memulangkan atlet senam dengan alasan sudah tidak perawan. Jika terbukti, si pelatih harus berhenti karena akan berdampak tidak baik ke depannya. Namun demikian, meski dipecat, pelatih akan tetap memiliki lisensi kepelatihan karena sanksi yang diberikan oleh PB Persani hanya sebatas pada pemecatan. Sementara, lisensi itu langsung dari Federasi Senam Dunia.
Terlepas dari bantahan dan tanggapan sejumlah pihak terkait pemulangan Shalfa, tak mungkin ada asap jika tak ada api. Alasan keperawanan yang sempat mencuat justru memperlihatkan adanya sesuatu yang tidak beres dalam manajemen pemberdayaan atlet. Ini sisi hitam dunia olahraga di Indonesia. Sesuatu yang tentu saja sangat memprihatinkan.
Semoga kasus seperti ini tak akan terulang di dunia olahraga ke depan. Tak boleh ada diskriminasi dalam dunia olahraga dan ranah lainnya. Terutama terkait dengan perempuan, perawan, atau tidak perawan. Sesuatu yang tak ada kaitannya dengan kompetensi untuk menjadi atlet profesional dan berprestasi.
*) Jurnalis Republika.co.id