Selasa 03 Sep 2019 09:41 WIB

Tajuk Republika: Membangun Manusia Papua

Papau dua pekan ini bergejolak seolah menyimpan api dalam sekam.

Warga membubuhkan tanda tangan pada papan Deklarasi Jawa Timur Cinta Papua saat Gerakan Jawa Timur Cinta Papua di Surabaya, Jawa Timur, Ahad (1/9/2019).
Foto: Antara/Didik Suhartono
Warga membubuhkan tanda tangan pada papan Deklarasi Jawa Timur Cinta Papua saat Gerakan Jawa Timur Cinta Papua di Surabaya, Jawa Timur, Ahad (1/9/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, Sudah dua pekan. Papua dan Papua Barat masih juga bergejolak. Belum ada tanda-tanda bakal mereda. Bumi Cendrawasih seolah menyimpan apinya kembali di dalam sekam.

Rusuh yang dipicu oleh kisruh pada 17 Agustus di asrama mahasiswa Papua di Surabaya dan Malang sudah bergeser ke mana-mana. Memakan korban jiwa. Sejumlah warga lokal tewas, begitu juga beberapa polisi dan tentara gugur.

Memakan kerugian material. Karena beberapa kali demonstrasi di sejumlah kota, seperti Jayapura, Manokwari, Fakfak diikuti oleh perusakan fasilitas umum, gedung perkantoran, juga pembakaran pasar, dan lain sebagainya. Diperkirakan kerugian mencapai ratusan miliar rupiah.

Rusuh di Papua-Papua Barat ini menghentak kita karena terjadi begitu dekat dengan Proklamasi 17 Agustus. Sebuah momen yang merayakan bebas dari penjajahan. Harusnya bulan ini bersih dari peristiwa ujaran berbau rasialisme plus unggahan bendera ke media sosial yang diduga hoaks itu.

Pemerintah meresponsnya dengan pendekatan kekuatan keamanan. Mengirim tambahan tentara TNI dan polisi Brigade Mobil ke Papua untuk berjaga-jaga. Memindahkan sementara kantor Kepala Polri Jenderal Tito Karnavian dan Panglima TNI Hadi Soetjipto ke sana agar bisa merespons cepat.

Kemudian pemerintah menyensor saluran telekomunikasi warga di sana. Media sosial dan internet dibatasi. Setelah itu, kepala Polri mengeluarkan maklumat. Melarang setiap warga berunjuk rasa. Sampai batas waktu yang dirasa memungkinkan. Kapan? Sepekan? Dua pekan? Kita tidak tahu. Jawabannya: Sampai situasi kondusif.

Kasus ujaran rasialismenya sudah diusut polisi. Sudah ditetapkan tersangka. Ada perempuan warga sipil, simpatisan Partai Gerindra. Dan ada beberapa anggota polisi.

Namun sepertinya, pace, mace, kakak, saudara Papua belum puas dengan penegakan hukum ini. Mereka pun berdemonstrasi lebih besar lagi. Di Jayapura dan di depan Istana Negara pekan lalu. Bendera itu, yang mereka sebut bintang kejora, dinaikkan tinggi-tinggi.

Kemarin, giliran orang asing. Pemerintah memutuskan untuk membatasi masuknya turis asing ke Papua. Ditjen Imigrasi juga memulangkan empat turis Australia. Pemerintah kemudian menuding juru bicara gerakan kemerdekaan Papua, Benny Wenda, sebagai salah satu provokator di balik layar.

Gambaran besarnya? Pemerintah berupaya melokalisasi dan mengisolasi Papua-Papua Barat. Kita berdoa, semoga kebijakan isolasi ini bisa menyelesaikan masalah di sana dengan cepat, minim korban jiwa, dan menyentuh akar masalah.

Kita berharap kisruh Papua lekas tuntas agar pembangunan di sana kembali berjalan. Pembangunan di Papua ini lebih penting karena dengan pembangunan, manusia membebaskan dirinya.

Mereka memang harus merdeka. Ya, warga Papua-Papua Barat harus merdeka dari kebodohan. Maka berilah mereka buku, dirikan mereka perpustakaan dan sekolah sampai pelosok, kirim ribuan guru ke sana.

Mereka memang harus merdeka. Ya, warga Papua-Papua Barat harus merdeka dari susahnya fasilitas kesehatan dan tenaga medis. Maka kirimlah ribuan dokter ke sana, dirikan ribuan puskesmas dan rumah sakit, pasok obat-obatan yang mencukupi di sana.

Mereka memang harus merdeka. Ya, warga Papua-Papua Barat harus merdeka dari bencana kelaparan. Maka berikan mereka lahan dan benih untuk bertani seluas-luasnya. Kirim peralatan dan teknologi pertanian yang modern. Kirim pula ribuan penyuluh pertanian ke sana untuk mengajari bertani efektif dan efisien.

Mereka memang harus merdeka. Ya, warga Papua-Papua Barat harus merdeka dari kemiskinan dan kesenjangan ekonomi. Berikan mereka akses ekonomi yang setara, pekerjaan yang tak melulu direbut oleh para pendatang.

Mereka memang harus merdeka. Ya, warga Papua-Papua Barat harus merdeka dari korupsi. Aparat hukum harusnya menangkap para elite yang merampok triliunan rupiah uang pembangunan Papua. Uang itu mengendap di kantong-kantong oknum pejabat-pengusaha-aparat. Belum ada yang bisa menyentuhnya.

Seperti yang kemudian dirumuskan dan ditulis di mukadimah UUD 1945 itu. "Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan."

Seberapa tertarik Kamu untuk membeli mobil listrik?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement