Sabtu 24 Aug 2019 13:54 WIB

Papua di Mata Amber Pendiri Bangsa

Penolakan Bapa Mohammad Hatta di sidang soal pendapat Papua sudah terkenal.

Pegunungan Jaya Wijaya Papua
Pegunungan Jaya Wijaya Papua

Oleh: Fitriyan Zamzami, Wartawan Republika

Aksi-aksi menentang rasialisme belakangan ini macam sudah melebar kemana-mana. Bukan cuma perkara rasialisme, tiba-tiba banyak itu bendera Bintang Kejora berkibar. Peserta aksi macam tra pusing ada tentara sama polisi di dekat-dekat dia orang 

Perkara lama itu terus muncul lagi. Mau merdeka kah? Atau mau tetap dengan NKRI?

Buat yang rajin baca sejarah, ini hal sudah lama sekali dia punya baku debat. Bahkan dari zaman republik belum ada juga paitua-maitua yang mau bikin negara sudah ribut.

Pas sidang BPUPKI, 11 Juni 1945, Kaka Sukarno sama Moh Yamin yang paling cerewet minta Papua masuk dalam republik. Dia orang dua punya pandangan, karena Papua waktu itu dijajah Belanda juga, otomatis masuk wilayah Indonesia, toh.

Penolakan Bapa Mohammad Hatta di sidang soal pendapat itu sudah terkenal. Paitua waktu itu satu dari sedikit saja yang tra setuju dengan hampir semua anggota BPUPKI sepakat bahwa Indonesia merdeka meliputi seluruh negeri Hindia Belanda, Malaya, Borneo Utara, Timor Portugis, dan Papua.

Bapa Hatta punya banyak alasan. Pertama, dia takut republik baru ini tra lain dengan imperialis-imperialis yang dia orang lawan. Tra puas dengan Papua, terus ambil wilayah-wilayah lain di Pasifik.

Paitua curiga, klaim bahwa kerajaan Nusantara dulu kasi ikut semua wilayah Papua sekarang juga abuti saja, alias abu nawas tinggi, alias tipu-tipu saja.

Hatta juga bilang bahwa secara etnis, orang-orang Papua ini lain sekali dengan orang-orang Melayu. Tapi Bapa Hatta tra kasi solusi. Dia cuma bilang, tra pusing Papua mau masuk ka trada ke Indonesia.

Nah kalau kitorang mau liat solusi, sebenarnya Bapa H Agus Salim yang menawarkan di sidang itu. Waktu itu, Pace Mohammad Yamin satu ini bilang bahwa semua rakyat Papua mau gabung dengan republik. Agus Salim tra mau percaya.

Dia keras kepala minta keputusan soal itu ditanya sama orang Papua semuanya. "Dengan djalan demikian itu, bukanlah atas dasar suara dua-tiga orang utusan sadja jang kebetulan datang, permusjawaratan kita jang diadakan di sini menetapkan kepulusan, melainkan keputusan itu berdasar kepada suara rakjat umumnja di dalam di daerah-daerah itu. Suara dari tanah Melaju, Serawak, Brunei, dan Sandakan dan bagian daerah Papua jang penduduknja sudah dapat menjatakan suaranja, hendaklah diberi djalan oleh kekuasaan Dai Nippon untuk menjatakan jakin atau tidaknja mereka hendak dimasukkan kedalam daerah Indonesia Merdeka," kata Agus Salim dalam risalah sidang itu.

Jadi, jauh sebelum kaka-kaka mahasiswa Papua minta di jalan-jalan belakangan, Agus Salim sudah duluan punya pikiran bahwa referendum menyeluruh harus dibikin dulu. Habis itu baru kamorang bisa bilang Papua masuk ka trada ke Indonesia.

Agus Salim percaya, hanya dengan begitu masuknya Papua ke Indonesia bisa selesai tra pakai bakudebat lagi. "Kiranja dengan tjara begini  hasjrat jang didasarkan kepada tarich lama dan jang didasarkan kepada realiteit, dapat didamaikan. Semangat kegembiraan boleh berdasar kepada tarich riwajat, sebagaimana hidupnja dalam kenang-kenangan bangsa kita, akan tetapi daja-upaja, ikhtiar kerdja dan tenaga untuk mentjapainja tidak dapat dibangkitkan dan tidak dapat dikerdjakan melainkan atas djalan akal jang berdasar kepada kenjataan realiteit," Agus Salim bilang.

Kitorang tahu, di ujung sidang Papua tetap diputuskan masuk Indonesia. Soal bagaimana kasih tau itu barang sama Belanda itu nanti saja.

Banyak yang kira bahwa habis itu kepentingan Amerika Serikat dan lahirnya Orde Baru saja yang semakin menguatkan Papua masuk Indonesia. Itu pendapat hanya separuh benar saja. Apa hal?

Wartawan legendaris Indonesia Rosihan Anwar (alm) pernah mengenang bahwa sebenarnya jenderal-jenderal TNI yang nantinya pro-Orde Baru sebenarnya tra setuju upaya militer pemerintah Indonesia merebut Papua pada 1961. Jenderal-jenderal itu, di antaranya AH Nasution, takut serangan militer ke Papua bikin negara-negara Barat marah sama republik.

Tapi kitorang tahu, Presiden Sukarno telinganya waktu itu lebih dekat ke kelompok komunis. Nah, bukan kebetulan, Partai Komunis Indonesia (PKI) waktu itu sudah tra tahan mau Papua masuk Indonesia.

Bahkan dari kongres 1956, merebut Papua sudah jadi program partai.Pas rame-rame di awal 1960 itu, M C Ricklefs dalam Sejarah Modern Indonesia (2008) menulis, sikap PKI terkait Papua bikin Sukarno memasukkan Ketua Umum CC PKI DN Aidit dan agitator Nyoto, orang dua ini waktu itu menjabat menteri koordinator, sebagai anggota “Front Nasional untuk memperjuangkan Irian Barat”.

PKI juga rajin sekali bikin aksi massa dorong pemerintah lebih berani merebut Papua. Senjata-senjata yang nanti dipakai agresi militer ke Papua waktu itu, juga datang dari blok komunis, terutama Uni Soviet. Dia orang kirim helikopter sama pesawat antero-antero buat tentara serang Papua.

Walau pada akhirnya, toh, bukan senjata-senjata ini yang bikin Papua masuk Indonesia, tapi Pepera atau Penentuan Pendapat Rakyat pada 1969, di bawah Orde Baru. Waktu itu, PBB bilang semua warga Papua yang cukup umur harus menentukan pendapat. Tapi, dari 800 ribu penduduk asli Papua waktu itu, Indonesia hanya pilih 1.025 orang untuk kasi suara.

Sa pernah tanya sama Abah Alwi Shahab, wartawan paling senior di Republika soal jajak pendapat itu. Bagaimana dia punya cerita sampai pace-mace seribu orang itu pilih ikut Indonesia? “Radio sama perempuan,” Abah Alwi bilang sambil tertawa.

Yang dia maksud, banyak yang curiga waktu ada yang main suap untuk beli suara wakil-wakil Papua. Gara-gara itu juga sampai sekarang banyak yang tra mau terima itu hasil pemungutan suara.

Saya ingat satu hari begini, pernah telepon pejabat di Jayapura. Waktu itu sa tanya soal oknum polisi yang jual senjata ke kelompok separatis. Bapa ade satu ini dia tra mau jawab langsung. Malahan dia tanya begini: "Jadi kamu ini wartawan pro-NKRI atau prokemerdekaan?" Saya kaget tapi diam saja waktu itu.

Begini, sepanjang hidup, saya sudah menjelajahi sebagian besar Tanah Papua yang luar biasa itu. Dari pantai di Sorong, naik kole-kole mengarungi teluk Fakfak, menjelajahi gunung-gunung di Timika, pantai-pantai dan pulau-pulau karang di Biak, rawa-rawa di Asmat, jalan-jalan di Jayapura, delapan jam naik perahu cepat di Sungai Daeram di ujung paling timur Papua.

Sa masih ingat jelas suara senapan yang kasi mati orang-orang di Biak akhir 1990-an dulu. Lihat sendiri mama-mama yang dia punya anak meninggal gara-gara kurang gizi di Asmat, liat anak SMA jalan kaki pegang sepatu puluhan kilometer ke sekolah di Supiori, tertawa dengan suku Koroway dan Kombay yang tinggal di pohon di Mappi.

Sa punya teman-teman orang Papua merentang dari dia orang yang angkat senjata untuk NKRI sampai yang jadi suara mereka yang angkat senjata untuk kemerdekaan. Dari yang kuliah untuk mengabdi pada republik, sampai yang mati karena terlalu banyak turun ke jalan minta referendum.

Tapi mau bagaimana juga, saya bukan orang Papua. Sa hanya amber saja, mo, seperti paitua-maitua yang dulu bikin republik dan mau Papua masuk Indonesia... Sa bisa bilang beruntung tinggal di Indonesia, tapi tra bisa klaim begitu untuk orang Papua.

Jadi, soal pertanyaan pejabat di Jayapura itu… sa tra bisa jawab. Sa tra punya hak sama sekali bicara soal bagaimana bikin baik masalah di Papua. Apalagi soal Papua harus merdeka atau tidak. Itu hak mama-mama di pasar sama yang pergi cari kasbi, petatas, sama sagu di pedalaman. Itu hak bapa-bapa yang setengah mati cari cara kasi sekolah dorang punya anak-anak. Hak kaka-kaka sama ade-ade mahasiswa yang panas-panas di jalan unjuk rasa. Hak setiap jiwa bangsa Papua, bukan saya punya hak...

Seberapa tertarik Kamu untuk membeli mobil listrik?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement