Sabtu 24 Aug 2019 11:42 WIB

Suara Milenial dan Papua di Tengah Pusaran Ibu Kota

Ancaman rusuh Papua di tengah pusaran pemindahan ibu kota

Sejumlah massa Aksi Kamisan dan Mahasiswa Papua Anti Rasisme, Kapitalisme, Kolonialisme dan Militerisme menggelar unjuk rasa di Jalan Merdeka Utara, Jakarta, Kamis (22/8).
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Sejumlah massa Aksi Kamisan dan Mahasiswa Papua Anti Rasisme, Kapitalisme, Kolonialisme dan Militerisme menggelar unjuk rasa di Jalan Merdeka Utara, Jakarta, Kamis (22/8).

Oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika

Berbagai pertanyaan kini menggema tentang pemindahan ibu kota. Pro kontra terjadi. Yang pasti, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas)  pun sudah memaparkan bahwa biaya pemindahan ibu kota berasal dari skema kerja sama pemerintah dan badan usaha (KPBU). 

Terkait soal ini mereka yang pro pada kebijakan memandang pemindahan ibu kota adalah keharusan ketika Jakarta dianggap tidak layak dengan alasan lingkungan, sosial, kemacetan, demi pemerataan, dan berbagai argumen lainnya.

Lucunya, kritikan terhadap soal ini pun muncul. Dalam acara diskusi di televisi ada seorang anak muda milenal, Sherly Annavita, yang dikenal sebagai influencer di media sosial secara terbuka mengkritik rencana ini. Apa yang dia katakan 'ajaibnya' sudah mendapat 'viewer' atau dilihat 2.102.568 orang. Sherly keturunan Minang yang lahir dan besar di Aceh ini sekarang menjadi bintang baru. Sosoknya berkilat-kilat menjadi perbincangan di media sosial.

Katanya, "Kebijakan itu malah akan mengkonfirmasi kegagalan kebijakan Jokowi semenjak jadi gubernur DKI hingga Presiden." Pada sisi lain, dari jejak digital terekam memang semua janji pada kampanye dahulu. Salah satu misalnya adalah soal pernyataanya tentang menata Jakarta akan menjadi mudah bila dirinya jadi presiden.

Itu hanya kritikan dari satu anak muda milineal. Dari tokoh sesepuh bangsa, seperti Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Emil Salim , juga bersikap senada. Dia beranggapan bila ibu kota dipindahkan dari Jakarta sekarang maka  akan ada opportunity cost lain dari bangsa ini yang dikorbankan. Ini misalnya soal pembangunan sumber daya dalam rangka menghadapi ‘bonus demograsi’ penduduk yang terjadi mulai 2020 hingga 2035.

Selain itu. Emil Salim yang juga seorang ekonom yang juga mantan menteri lingkungan hidup mengatakan:"Dengan dana Rp 466 triliun untuk pemindahan ibu kota, akan ada kebutuhan lain yang dikorbankan," ujar dia ketika ditemui Republika.co.id, di Jakarta, Jumat (23/8).

Menurut dia, terlepas dari 57 persen penduduk Indonesia yang terkonsentrasi di Jawa, saat ini sedang menghadapi berbagai krisis, baik itu pendidikan, pekerjaan, SDA, termasuk juga transportasi. Oleh karena itu ia menekankan agar menuntaskan permasalahan tersebut sebelum memindahkan ibu kota.  "Jadi kebutuhan dan biaya apa yang dikorbankan?" Kata dia.

Ekonom senior itu menegaskan, rencana dari Bappenas ia anggap keliru karena melupakan faktor yang lebih mendesak. Menurut dia, permasalahan di Jawa dan pulau lainnya lebih penting daripada menghabiskan dana untuk pemindahan ibu kota.

"Semua permasalahan, seperti pengangguran dan kesenjangan di Jawa sendiri bagaimana? Apa ditinggalkan?" Kata dia.

Mantan menteri negara lingkungan hidup era Orde Baru itu juga memaparkan bahwa Indonesia memang membutuhkan modal. Namun, modal tenaga kerja Indonesia lebih diperlukan, sehingga dalam prosesnya pendidikan untuk memenuhi kesejahteraan akan terpenuhi.

"Dalam dua tahun terakhir tingkat pengangguran terbuka mayoritas dari SMK. Kita tidak bodoh, hanya sistem pendidikan yang kurang baik dan itu perlu diperbaiki," Kata dia.

Emil juga mengatakan, untuk membangun human capital tersebut Indonesia membutuhkan dana Rp 5.300 triliun. Oleh karena itu dia menegaskan agar pemerintah menghemat uang yang terbatas supaya digunakan dengan efektif dan efisien. 

"Kebanyakan masyarakat Indonesia belum punya skill untuk menghadapi industri 4.0, jadi tolong presiden perhatikan itu," ujar dia.

Selain itu Emil dalam tayangan video yang viral di media sosial juga mengatakan sangat tidak tepat bila alasan pemindahan Jakarta karena daya dukung kota ini sudah tak layak. Bila karenan soal ini maka alasan ini terkesan pemerintah lepas tangan akan soal keruwetan Jakarta yang seharusnya menjadi kewajibannya untuk diperbaiki.

‘’Segala soal daya dukung lingkungan bukan hanya Jakarta, tapi seluruh Jawa — terutama pantai utara yang terkena penurunan muka tanah. Jadi soal ini bukan hanya Jakarta, tapi soal seluruh jawa yang penduduknya mencapai 175 juta jiwa itu,’’ kata Emil dalam tayangan itu.

Seperti diketahui pembiayaan fisik ibu kota baru dari Bappenas dengan skema KPBU tersebut mencakup fungsi utama senilai Rp 327 triliun. Fungsi pendukung Rp 265,1 triliun, fungsi penunjang Rp 156,2 triliun dan ruang terbuka hijau termasuk pengadaan lahan senilai Rp 120 triliun.

                                              ****

Yang paling seru adalah kasus terakhir, Di tengah derasnya wacana soal pemindahan ibu kota, maka muncul kasus mengenaskan yakni munculnya kerusuhan di Papua. Kerusuhan ini dipicu dari adanya ujaran rasis kepada anak-anak Papua yang tengah menuntut ilmu di Jawa, yakni di Malang dan Surabaya.

Bahkan kini ada pihak yang mulai bersuara bila Indonesia memang benar-benar cinta kepada Papua mengapa ibu kota  negara tidak pindah saja ke Papua. Ini dengan menggandaikan bila Yogyakarta begitu penting di masa lalu hingga menjadi ibu kota negara, apakah Papua tidak dianggap sepenting itu di masa kini. Tak hanya Papua, Aceh juga akan bersikap atau mempunyai tuntutan yang sama bila ini terjadi. Imbas keruwetan baru akan muncul dan celakanya terjadi dalam situasi ekonomi negara yang tak bagus.

Jadi situasi ruwet inilah juga membayangi isu pemindahan ibu kota pada hari-hari ini. Berbagai pertanyaan dan spekulasi muncul. Berbagai analisa muncul untuk menjawab pertanyaan mengapa kasus rasial itu muncul. Dan ini tudingannya pun bermacam-macam.

Nah, untuk menjawab soal ini ada nasihat bijak dari pakar hukum tata negara Irman Putra Siddin. Melalui percakapan video yang dikirmkan melalui WA dia menyatakan soal pemindahan ibu kota bukan hal mudah dan tak hanya menjadi urusan pihak pemegang kekuasaan saja.

Mengapa? Sebab ini terkait dengan filosofi aturan mengenai keberadaan ibu kota. Dan di sana jelas mengapa sebah kota disebut ibu kota, yakni karena punya dimensi sejarah, praktik pengaturan pemerintahan, praktik politik dan berbagai segi lainya.

“Lalu mengapa Jakarta ditunjuk sebagai ibu kota? Ya karena di sini adalah proklamasi dikumandangkan, bendera negara dijahit, pengelolaan keuangan negara di rapatkan. Jadi bukan soal sepele memindahkan ibu kota dari Jakarta. Maka renungkanlah,’’ katanya,

Beginilah pernyataan Irman Putra Siddin selengkapnya:

Seberapa tertarik Kamu untuk membeli mobil listrik?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement