Selasa 20 Aug 2019 12:13 WIB

Ajaib, Kita Memang Rasialis...?

Ajaib, mereka yang dapat tindakan rasialis yang justru meminta maaf.

Warga Papua menyalakan lilin saat aksi damai di Bundaran Tugu Perdamaian Timika Indah, Mimika, Papua, Senin (19/8/2019).
Foto: Antara/Sevianto Pakiding
Warga Papua menyalakan lilin saat aksi damai di Bundaran Tugu Perdamaian Timika Indah, Mimika, Papua, Senin (19/8/2019).

Fitriyan Zamzami, wartawan Republika, besar di Biak Numfor, Papua

Saya tak tahu persis apa yang terjadi di Asrama Mahasiswa Papua di Surabaya akhir pekan lalu. Siapa yang memulai apa, siapa yang bicara apa.

Tapi saya tahu yang terjadi di Stadion Moch Soebroto, Magelang, pada 6 Maret lalu. Saat itu, tuan rumah PSIS Semarang tengah menjamu Persipura dalam laga fase grup Piala Presiden.

Sepanjang pertandingan, samar-samar terdengar nada-nada rasialis dari tribun penonton. Ada suara "Ugh...ugh...ugh...ugh!" yang ramai-ramai diteriakkan pendukung tuan rumah dan kedengaran pada siaran langsung di televisi.

Di Eropa, bukan sekali-dua kali kejadian serupa di stadion. Kejadian yang sempat membuat para pesepakbola yang kekar dan tegap semacam Mario Balotelli atau Samuel Eto'o menangis dan tak kuat melanjutkan pertandingan.

Gambar terkait

Tapi hari itu, para pemain Persipura lanjut terus. Mereka bermain apik dan unggul 2-1 hingga menjelang akhir pertandingan. Kemudian, tepat pada menit ke-75, Boaz Salossa menerima umpan terobosan ciamik Wallacer dari sayap kanan. Pemain legendaris itu kemudian membawa bola sebentar ke depan, mengelabui kiper dan bikin gol.

Ia langsung berjalan ke arah tribun tempat pendukung PSIS berkumpul. Telunjuknya ia taruh di bibir, kemudian ia gerakkan jari dalam gestur yang menunjukkan "jangan begitu" dan disusul jempol tangan ke bawah. Imanuel Wanggai lekas menahan Boaz bergerak lebih dekat ke pendukung, kemudian mengajaknya berlutut berdoa.

Selepas itu, lemparan botol berjatuhan dari tribun penonton. Imanuel Wanggai, Lukas Mandowen, juga Boaz, kemudian berdiri dan menghadap penonton sembari menangkupkan tangan dalam gestur meminta maaf.

Ajaib, pikir saya. Hanya di negeri ini mereka-mereka yang dapat tindakan rasialis yang justru meminta maaf. Ini hal yang menyedihkan, mengkonfirmasi bahwa untuk orang-orang Papua, direndahkan berdasarkan warna kulit mereka sedemikian biasa di negeri ini.

Indonesia sejauh ini memiliki Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. Merujuk Pasal 16 regulasi itu, ada hukuman maksimal empat tahun penjara bagi mereka-mereka yang menunjukkan kebencian terhadap orang lain berdasarkan ras atau etnis. Tapi namanya regulasi di Indonesia, dipakainya kadang-kadang suka hati yang punya kepentingan saja.

Alhasil, para pendukung maupun klub PSIS sama sekali tak dapat hukuman selepas itu. Boaz yang justru dianggap melakukan provokasi. Sekali lagi, ajaib.

Yang ingin saya bilang, yang terjadi di Surabaya, bila memang seperti itu kejadiannya, bukan langka atau sekali itu saja. Ia hanya contoh terkini dari banyak kejadian sebelumnya. Kita orang, sadar atau tidak, memang memaklumi rasisme terhadap saudara-saudara di Papua.

Sekurang-kurangnya, kita tak sensitif terhadap perasaan bangsa Papua. Kita jarang peduli bagaimana rasanya mereka ditolak naik angkot atau sewa kos-kosan, misalnya. Atau bagaimana kita di belakang menertawakan hitam kulit dan keriting rambut mereka.

Apakah ini gegara setiap hari kita dijejali iklan-iklan produk kosmetik di televisi? Iklan-iklan yang selalu mengindikasikan bahwa "kulit lebih cerah" dan "rambut lebih lurus dan terurus" selalu lebih cerdas, lebih sukses, lebih menarik perhatian lawan jenis. Bahwa ketiak yang lebih bersih menjamin hidup yang lebih bahagia. Sementara paham bahwa ideal-ideal palsu itu sukar dicapai etnis Melanesia.

Atau rasisme itu semacam mekanisme manajemen rasa bersalah kita? Orang Papua kita bilang kurang pintar dari sononya untuk menutupi buruknya pemerataan pendidikan di wilayah itu? Orang Papua kita anggap malas untuk menutupi pemiskinan sistematis yang berjalan puluhan tahun di sana? Orang Papua kita bilang kasar dan senang baku hantam sebagai justifikasi tindakan brutal aparat kita di pantai-pantai dan pegunungan Papua? Orang Papua kita bilang binatang untuk menggenapi kemanusiaan kita yang sedianya juga kurang genap?

Jangan-jangan Bung Hatta benar saat menolak Papua masuk Indonesia di sidang persiapan kemerdekaan dulu. Bahwa Papua adalah demarkasi yang kita dorong terlampau jauh. Sebuah upaya imperialistis yang sedianya tak perlu-perlu amat. Bahwa mengelola Papua adalah upaya yang bakal terlampau sukar buat republik. Bahwa perbedaan etnis yang harus dijembatani terlampau jauh.

Bagaimanapun, mengakui keberadaan tendensi rasialis ini adalah langkah pertama jika kita ingin bergerak maju. Kita tak bisa terus berpura-pura semuanya baik-baik saja. []

Seberapa tertarik Kamu untuk membeli mobil listrik?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement