REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ojek online kembali menjadi perbincangan. Dua hari lalu, Kementrian Perhubungan mengusulkan untuk mengevaluasi diskon ojek online. Arahannya adalah agar diskon ditiadakan. Usulan ini merupakan bagian dari evaluasi aturan mengenai Ojol dalam Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KP 348.
Ketika aturan tersebut diterbitkan, Kemenhub berjanji akan mengevaluasi perkembangannya setiap tiga bulan. Soal diskon ini, pemerintah merasa diskon akan mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat.
Dahi saya sempat menyernyit. Masa diskon dilarang? Bayangkan kita sedang berada di supermarket lalu tidak ada diskon. Hmm, mungkin terlihat aneh di tengah strategi persaingan pasar yang semakin dinamis. Bukankah diskon adalah bagian dari strategi orang jualan?
Bagi sebagian konsumen diskon atau promo adalah oase yang harus dimanfaatkan sebaik-baiknya. Tengok saja berbagai tenant kopi yang pada akhir bulan katakanlah memberikan promo beli satu gratis satu. Antreannya panjang dan berjubel. Begitu pula dengan diskon tarif ojol untuk transportasi (ride).
Diskon pun beragam bentuknya. Umumnya potongan harga sejumlah nominal tertentu. Jika ada diskon Rp 7 ribu untuk satu kali perjalanan, maka pengguna bisa berhemat Rp 70 ribu untuk sepuluh kali perjalanan. Sepuluh kali perjalanan sebagai jumlah umum diskon yang diberikan oleh aplikator.
Bagi pelanggan yang jeli, mereka akan memanfaatkan diskon di semua aplikasi ojol. Tak ada konsumen loyal. Semua ingin yang terbaik. Umumnya, aplikator juga akan memberikan diskon ketika pengguna ‘sejenak’ tidak menggunakan aplikasi ojol. Maka, bergantian menggunakan aplikasi ojol bisa menjadi salah satu cara untuk mendapatkan diskon atau promo yang terkadang diberikan random oleh aplikator.
Apa yang terjadi jika semua diskon itu dihilangkan? Wah...wah
Soal diskon ini juga ditanggapi oleh Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). YLKI menilai, pemberian diskon tarif untuk transportasi daring, khususnya ojek online (ojol) semestinya tidak menjadi masalah. YLKI menyatakan, diskon dapat diberikan kepada konsumen selama tarif potongan masih berada dalam rentang tarif batas bawah dan batas atas.
Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KP 348 sudah mencakup ketentuan tentang tarif transprotasi daring berdasarkan biaya batas bawah, batas atas. Aturan ini dengan segala kekurangan dan kelebihannya penulis anggap sudah cukup pas melindungi driver ojol. Konsumen juga masih terlindungi dengan adanya batas atas tarif.
Sudah ada aturan mengenai batas atas dan bawah, mengapa pula harus ada aturan mengenai diskon? Rencana ini batal. Penulis sebagai salah seorang penguna ojol turut mengapresiasi pembatalan rencana ini.
YLKI menilai ketimbang terlalu detail membahas diskon tarif ojol, Kemenhub sebagai regulator perlu membuat aturan mengenai standar pelayanan minimal bagi transportasi daring. Hal itu supaya terdapat suatu standar layanan yang sama antar aplikator di Indonesia sehingga konsumen tidak menjadi pihak yang dirugikan.
Dirjen Perhubungan Darat Kemenhub, Budi Setiyadi mengatakan permasalahan diskon tarif ojek online pihaknya menyerahkan ke Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). KPPU memang mengendus indikasi predatory pricing dalam pemberian diskon oleh aplikator ojol pasca pemberlakuan tarif baru pada Mei 2019.
Obral diskon yang dilakukan aplikator dinilai berpotensi membuat persaingan usaha tak sehat. Selain berdampak pada terpentalnya pelaku usaha lain, persaingan usaha yang tidak sehat seperti ini juga menghambat masuknya pemain baru.
Di Indonesia, ojol memang didominasi dua pemain besar, Grab dan GoJek. Keduanya sudah memiliki dompet elektronik masing-masing dengan segala rupa diskon yang menarik. Keduanya secara berkala memberikan diskon kepada pelanggan. Apakah diskon yang diberikan ini berpotensi pelanggaran? Ini tentu menjadi kewenangan KPPU.
Tahun 2017 lalu, KPPU pernah menangani kasus kartel Yamaha dan Honda. Kedua perusahaan itu divonis bersalah dan didenda karena persekongkolan untuk harga skuter matik. Persekongkolan harga ini tentu saja merugikan konsumen.
Hal inilah yang kini telah diserahkan Kemenhub kepada KPPU. Ujungnya, kembali lagi kepada konsumen agar tetap terjadi persaingan pasar yang sehat dan tidak ada monopoli pasar.
Barangkali tidak terlalu tepat membandingkan persaingan ojol dengan persekongkolan tarif harga skuter sebab pemerintah tidak menetapkan batas atas bawah untuk tarif skuter. Tapi upaya KPPU untuk mengkaji celah pelanggaran ojol sebagai tindakan preventif, mari kita tunggu hasilnya.
*) Penulis adalah redaktur republika.co.id