Ahad 03 Mar 2019 12:20 WIB

Berdalih Dakwah, Padahal Bukan

Dakwah di ruang publik mutlak membutuhkan ilmu.

Moh. Nashih Nasrullah
Foto: dok. Republika
Moh. Nashih Nasrullah

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Nashih Nashrullah*

Apa yang diprediksikan Nobert Wiener sejak 1948 silam seperti tertuang di magnum opusnya, Cybernetics: Or Control and Communication in the Animal and the Machine, tentang dampak dari apa yang dia sebut dengan revolusi informasi, sudah benar-benar tampak. Kemajuan teknologi akan sangat berdampak terhadap etika dan kehidupan secara global. Cara berpikir dan perilaku. Sebagiannya positif, tetapi sebagian lain sungguh negatif, bahkan cenderung menjerumuskan.   

Dampak negatif dari revolusi informasi tersebut telah merangsek ke berbagai lini. Tak terkecuali dunia dakwah, yang kental dengan nilai-nilai luhur agama. Bahwa teknologi informasi efektif memaksimalkan potensi dakwah iya, tetapi di bawah sentuhan teknologi pula, kita dipertontonkan dengan potret era jahiliyah yang menggunakan topeng dan jargon dakwah.

Kita tengah disuguhkan fenomena yang tak pernah tampak beberapa dekade sebelumnya. Dulu, para pendakwah akan mengajak mad’u (objek dakwah) tidak hanya dengan bahasa lisan yang santun dan bertutur elok, tetapi juga memberikan sentuhan hati dalam tiap nasihat yang disampaikan. Untuk berada pada level tersebut tak mudah: Menghadirkan kalam yang muncul dari hati bersih dan tulus bagi para pendai bukan perkara gampang. Namun mendeteksinya cukup mudah. Perkataan yang tulus dan santun akan membuat hati adem, dan bukan malah sebaliknya . 

Saya cukup meng-highlight dua figur di media sosial yang menurut saya sudah melampaui batas yaitu pertama Mahir at-Thuwailibi dan yang kedua Sugi Nur Raharja. Dalam banyak ceramah keduanya yang beredar di media sosial, kata cacian dan hujatan tak pernah luput. Sama-sama digelari ustaz, pendakwah, serta menjadi rujukan sebagian orang. Keduanya juga memiliki jejak tak jauh beda, bermasalah dengan hukum. Hanya saja, Mahir belum pernah terjadi tersangka meskipun dilaporkan atas dugaan kekerasan terhadap pendakwah KH Marhadi Muhayyar alias Syekh Idahram di Bogor beberapa tahun lalu. Perkataannya diamini sebagai sebuah kebenaran, padahal sarat dengan cacian. Naifnya lagi mereka punya pembenaran yang lantas diyakini oleh para pengikutnya.  

Lihat saja di beberapa video ceramahnya, bagaimana Sugi mengutip QS al-A’raf ayat ke-109 sebagai jawaban atas protes jamaah akibat Sugi melontarkan ejekan dan cacian dalam ceramahnya. Ayat tersebut berbunyi: “Maka perumpamaannya seperti anjing jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia mengulurkan lidahnya (juga).” Ayat tersebut dia kutip, seakan hendak mengatakan kepada kita, bahwa Alquran saja menggunakan kata ‘anjing’ untuk mencela seseorang.

Padahal jauh api dari panggang, logika-logika semacam tersebut sama sekali tak bisa dibenarkan. Bahwa Allah SWT dalam firman-Nya itu menggambarkan perilaku Bal’am dengan sindiran keras dan mengumpakannya dengan perilaku anjing, tapi kisah tersebut tak lebih dari pembelajaran agar kita, umat Muhammad tak mengikuti jejak Bal’am, si penjual ayat Tuhan.

Posisi kisah dalam ilmu tafsir, menurut Imam al-Jashash di kitab Ahkam al-Qur’an, tidak bisa dijadikan sebagai rujukan hukum apapun. Dia turun sebagai motivasi sekaligus pengingat kepada Rasulullah SAW agar berhati-hati terhadap ayat Tuhan. Itulah fungsi kisah-kisah umat terdahulu dalam Alquran. Bukan malah menjadikan ayat ini sebagai pembenaran bolehnya mencaci dan berkata kasar.

Revolusi informasi turut berkontribusi pada perubahan yang sangat radikal dan ekstrem terhadap perilaku dalam beragama. Tiap orang, atas dalih kebebasan menyatakan pendapat, kemudian beralasan sedang menyampaikan dakwah satu ayat, untuk selanjutnya mengangkangi ‘pranata’ berdakwah yang telah sistematis digariskan para ulama. Dakwah di ruang publik tak terkecuali media sosial tidak hanya cukup bermodal satu ayat, lalu gagah-gagahan hujat sana hujat sini. Berdakwah mutlak membutuhkan ilmu. Namun juah lebih penting, dakwah harus ditopang dengan akhlak.   

Dalam bahasa al-Mawardi, seperti tertuang di kitab Adab ad-Dunya wa ad-Din, sirnanya etika dalam berdakwah pada dasarnya akibat beragam faktor eksternal dari aktvitas dakwah itu sendiri seperti perilaku si pendakwah, sebab pada hakikatnya dan sudah selazimnya dakwah adalah mulia, sarana mengajak kebaikan dengan nilai-nilai luhur. Caci maki, fitnah, cibiran, dan hujatan yang marak dipertontonkan di ruang publik saat ini, meski dengan pembenaran apapun, sesungguhnya telah ‘memperkosa’ keluhuran agama itu sendiri.

Sudah saatnya harus ada sikap tegas dari semua pihak termasuk dari kita sendiri yang bisa jadi hanya karena kesamaan afilisasi politik dai pencaci maki itu, lantas mengiyakan kemungkaran yang dilakukannya. Tinggalkan ceramah sampah yang tak memberikan dampak pengetahuan apapun. Perlu langkah strategis dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk menertibkan ruang gerak para pendakwah agitatif.

Dan syukurlah, menurut sumber di Komisi Dakwah dan Pengembangan Masyarakat MUI, para kiai sebenarnya tak tinggal diam, dan akan melakukan tindakan tegas hanya saja eksekusinya menunggu perhelatan Pilpres 2019. Di satu sisi, penegakkan hukum juga mesti ditempuh agar memberikan pesan kepada masyarakat, bahwa ada yang salah dalam cara berdakwah para pendakwah agitatif tersebut.  

Saya selalu berkeyakinan, kelemahlembutan, kebijaksanaan, dan kasih sayang kita terhadap sesuatu, justru akan semakin mendatangkan maslahat, dalam sabda Rasulullah, kelemahlembutan itu akan kian menghiasi suatu perkara sementara sebaliknya: arogansi, sikap kasar, justru akan menjadikan perkara tersebut berantakan. 

*) Penulis adalah redaktur republika.co.id

Seberapa tertarik Kamu untuk membeli mobil listrik?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement