REPUBLIKA.CO.ID, oleh Hasanul Rizqa*
Begitu banyak fragmen peristiwa kekerasan yang dilakukan Israel atas Palestina. Sejak Januari 2019 hingga saat ini “saja”, militer Israel terus menindas penduduk sipil setempat, bahkan termasuk kaum Muslimin yang hendak beribadah di Masjid al-Aqsha.
Teranyar, pada Selasa (19/2) malam waktu Yerusalem, pasukan Israel menyerang jamaah Masjid al-Aqsha di dekat pintu gerbang al-Rahmah. Akibatnya, banyak jamaah yang terluka, sementara para pemuda Palestina yang membela diri ditangkap aparat Zionis.
Mereka yang melawan Zionis itu sesungguhnya tidak hanya membela kehormatan diri, tetapi juga umat Islam sedunia. Ingat firman-Nya dalam surah al-Baqarah ayat ke-114, artinya, “Dan siapakah yang lebih aniaya daripada orang yang menghalang-halangi menyebut nama Allah dalam masjid-masjid-Nya, dan berusaha untuk merobohkannya? Mereka itu tidak sepatutnya masuk ke dalamnya (masjid Allah), kecuali dengan rasa takut (kepada Allah). Mereka di dunia mendapat kehinaan dan di akhirat mendapat siksa yang berat.”
Sungguh, kehinaan bagi pendukung zionisme. Rezim Zionis berkali-kali mempersulit kaum Muslimin untuk mengakses Masjid al-Aqsha—situs suci ketiga menurut keyakinan Islam. Kejadian pada Selasa lalu adalah imbas dari insiden pada Ahad (17/2) malam sebelumnya. Militer Israel menutup gerbang al-Rahmah. (Pada Juli 2017, pertama kalinya Israel menutup kompleks Masjid al-Aqsha sejak pertama kali mencaplok tanah Palestina sejak 1948.) Kontan saja, jamaah setempat—tua, muda, laki, perempuan—memprotes keras.
Jelas sekali, pelarangan suatu umat untuk beribadah bertentangan dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia (HAM). Dalam kasus ini, larangan yang dicanangkan Israel tidak hanya bagi kaum pria dan pemuda Palestina, tetapi juga perempuan. Kaum hawa Palestina bahkan difitnah sebagai biang keladi kerusuhan. Banyak pula yang ditangkap dan dikenakan tahanan rumah.
Israel adalah “alien” di tengah bangsa-bangsa yang bermoral. Sebab, entitas itu hanya mengenal bahasa kekerasan dan kesombongan. Sejak usainya Perang Dunia II pada 1945, banyak negara-negara merdeka, baik itu melalui dekolonisasi maupun perjuangan keras (contoh: Indonesia). Hari ini, bisa dikatakan hanya Palestina yang masih bernasib malang. Hanya Israel yang masih angkuh berstatus bangsa penjajah.
Itulah bahasa kekerasan yang dituturkan Israel. Adapun bahasa kesombongan begitu jelas terbaca, baik dari dalam maupun luar entitas Zionis itu. Lihat ke internal Israel. Alih-alih “negara” demokratis (tanda kutip, karena kita tak mengakui legitimasinya), kini dia menuju negara mono-identitas bahkan negara mono-agama.
Utamanya sejak tahun lalu, para politikus fundamentalis/radikal Israel sudah mengkristalkan konsep rasisme untuk menyingkirkan orang-orang Arab. Pada 19 Juli 2018, parlemen Israel (Knesset) melakukan pemungutan suara (voting) terhadap RUU Negara Bangsa Orang Yahudi. Hasilnya, sebanyak 62 anggota Knesset setuju, sedangkan 55 menolak dan dua orang sisanya menyatakan tidak hadir. Loloslah RUU itu menjadi undang-undang baru. Israel pun ditetapkan sebagai “tanah air historis” bagi orang Yahudi. Yerusalem diklaim sebagai ibu kotanya.
Melalui aturan ini, kaum Yahudi imigran (Aliyah) dari pelbagai penjuru dunia diajak untuk datang berduyun-duyun ke Israel. Praktik anti-Arab di sana menjadi legal. Sebagai contoh, hanya bahasa Ibrani yang ditetapkan sebagai bahasa resmi. Adapun bahasa Arab, walaupun dipakai dua juta penduduk setempat, tidak diakui. Singkatnya, seluruh keturunan Arab yang masih menghuni teritori Israel menjadi warga negara kelas dua.
Dalam konteks ini, politikus Partai Ta’al Ahmad Tibi berkomentar via akun Twitternya. Dia menyebut pengesahan UU tersebut “kiamat bagi demokrasi” di Israel. Menurut dia, rezim Netanyahu dkk. secara resmi menerapkan cara-cara pemerintahan yang fasis dan apartheid (The New York Times, 19/7/2018). Kolomnis Max Fisher di New York Times (22/7/2018) menyimpulkan, pemerintah dan DPR Israel telah mengutamakan politik identitas di atas demokrasi serta menafikan kebinekaan. Sebuah kemunduran, bahkan bila dilihat dari perspektif Barat.
“Kesombongan adalah awal kehancuran.” Demikian kata pepatah. Itu pula yang terjadi pada Israel bila dilihat dari sisi eksternal. Baru-baru ini, keangkuhan Israel dipatahkan sejumlah negara Eropa. Kisahnya bermula dari pelaksanaan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Visegard--disebut juga Konferensi Warsawa--pada 14 Februari 2019. Istilah Visegard merujuk pada empat negara penting di Eropa Tengah, yakni Polandia (tuan rumah), Ceska, Hungaria, dan Slovakia.
Pada tanggal tersebut, PM Israel Benjamin Netanyahu diterima dengan cukup layak di Warsawa, ibu kota Polandia. Dia bahkan duduk bersebelahan dengan PM Polandia Mateusz Morawiecki. Semua tampak baik-baik saja bagi negeri zionis itu.
Sampai akhirnya, seorang pejabat menteri luar negeri Israel, Katz, mengumbar kata-kata yang menyinggung bangsa Polandia. Katz sesumbar berkata, Polandia pernah bersekongkol dengan Nazi untuk menindas kaum Yahudi Eropa. Tambahan pula, dikatakannya bahwa “Polandia mengisap antisemit sejak masih menyusu kepada ibu mereka.”
Bagi alam demokrasi Barat, sosok Nazi (utama Adolf Hitler) adalah momok. Disebut bersimpati dengan Nazi adalah hinaan. Alhasil, pasca-penampilan Katz itu, KTT Visegard berakhir antiklimaks. Tidak ada kesepakatan apa pun dari konferensi itu alias batal sama sekali.
Padahal, perdana menteri Hungaria dan Slovakia sudah tiba di Israel, demikian laporan yang diterima (Republika, 19 Februari 2019). Kunjungan keduanya ke sana akhirnya dianggap lawatan biasa.
KTT Visegard penting bagi masa depan Israel, khususnya terkait hubungan dengan negara-negara Barat. Seperti diketahui, hubungan Israel dengan Eropa Barat dan banyak negara sekutu terdekat Amerika Serikat (AS) melonggar sejak adanya klaim bahwa Yerusalem merupakan ibu kota Israel. Klaim itu sendiri dimotori Presiden AS Donald Trump.
Maka dari itu, bila KTT Visegard berhasil, ada kemungkinan bagi Netanyahu dkk untuk merebut hati negara-negara Eropa Tengah. Israel butuh tambahan suara dukungan itu untuk menangkis hujan kritik di berbagai forum internasional. Suara Trump dkk saja tidak cukup.
Celaka bagi Israel. Alih-alih simpati, Polandia justru merasa tersinggung dengan sikap Israel (cq. Katz) yang menuduhnya sebagai anti-semit. Semua karena lisan yang menunjukkan sikap congkak, merasa diri bangsa teristimewa sejagad. Demikianlah. Semoga Israel kian terkucil, semakin menjadi alien, dalam pergaulan dunia yang beradab. Semoga Masjid al-Aqsha dapat bebas dari kekangan Yahudi laknatullah!
*) Penulis adalah redaktur republika.co.id