REPUBLIKA.CO.ID, oleh Gita Amanda*
Beberapa waktu lalu, 14 anak Sekolah Dasar (SD) diusir dari sekolah mereka. Banyak orang tua murid lain di sekolah itu keberatan dengan keberadaan mereka.
Ke-14 anak itu bukan tanpa alasan 'tak disukai' oleh orang tua murid lain. Mereka menyadang 'status' Anak Dengan HIV AIDS atau dikenal dengan ADHA.
Persoalnya, muncul ketika ada kebijakan baru yang diterapkan yakni program regrouping sekolah. Awalnya, ke-14 anak itu sekolah dengan 'damai' di SD Bumi. Tapi dengan regrouping mereka harus bergabung dengan SDN Purwotomo.
Kini ke-14 anak, terpaksa harus belajar di rumah singgah Yayasan Lentera. Para guru dari SDN Purwotomo datang setiap Sabtu untuk membantu para murid mengejar pelajaran.
Kejadian penolakan ADHA untuk mengenyam pendidikan di sekolah umum bukan kali ini saja terjadi. Oktober tahun lalu, kejadian serupa juga terjadi di Samosir, Sumatera Utara. Tiga anak ditolak bersekolah karena orang tua khawatir anak mereka tertular virus HIV.
Solusi yang diambil Pemerintah Samosir kemudian adalah membuat anak-anak itu menempuh home schooling. Solusi home schooling juga yang ditawarkan Pemkot Solo untuk kasus 14 anak yang diusir dari SDN Purwotomo. Alasannya sederhana dan dianggap sebagai win-win solution, ADHA tetap mendapat haknya memperoleh pendidikan dan orang tua murid lain tetap tenang.
Tapi Ketua Yayasan Lentera, Yunus Prasetyo, mengatakan itu bukanlah solusi. Sebab anak-anak tersebut tak sekadar perlu mendapat materi pelajaran, namun juga butuh bersosialisasi dan berinteraksi.
Dari kasus-kasus tersebut di atas, terlihat jelas kalau pengetahuan masyarakat akan penularan HIV/ADIS masih sangat minim. Atau bisa jadi stigma AIDS sebagai penyakit mematikan yang menular sudah terlanjur tertanam dibenak masyarakat.
Padahal Komisi Penanggulangan AIDS Nasional mengatakan, HIV AIDS bukan penyakit yang bisa menular dengan mudah. HIV AIDS hanya dapat ditularkan melalui hubungan seksual, jarum suntik dan penularan dari ibu ke anak. Sementara tindakan lain seperti salaman, genggaman tangan, berbagi toilet bahkan batuk bersin dan bertukar pakaian tak akan menjadi media penularan AIDS.
Agaknya Pemerintah, punya PR besar untuk mensosialisasikan penularan HIV AIDS ini kepada masyarakat. Agar kasus-kasus yang terjadi di Solo dan Samosir tak lagi terulang.
Jadi saat ini sudah bukan lagi sekadar mensosialisasikan bahaya HIV AIDS kepada masyarakat. Tapi juga harus diiringi dengan sosialisasi bagaimana proses penularannya, dan bagaimana berinteraksi dengan penderita HIV AIDS.
Sebab jika tidak, bisa dibayangkan akan berapa kali lagi kasus pengusiran ADHA terjadi. Anak-anak yang sudah terenggut kesehatan dan kebebasannya dengan HIV AIDS kini harus semakin menderita dengan dikucilkan oleh lingkungannya.
*) Penulis adalah redaktur republika.co.id