Oleh: KH Didin Sirojuddin AR, Pengasuh Pesantren Kaligrafi, Lemka
Lukisan cat minyak berjudul "Perahu Lomba Menuju Kebaikan" ini dibuat tahun 2002 di kanvas berukuran 50 x 60 cm. Dominasi warna biru memvisualkan warna laut dan langit yang bertemu dengan garis batas mega yang bergumpal-gumpal. Tapi, biru juga adalah warna surga yang jadi tujuan al-awwalu wal akhiru setiap kompetisi meraih kebaikan.
Lukisan kecil itu memang berisi seruan ayat Alquran "Berlombalah dalam kebaikan". Dan ini mungkin, secara kebetulan, dipamerkan dalam peristiwa besar yang mengguncang jagat musik dan prasangka penistaan terhadap agama. Di tahun 2005 itu, grup musik pop Dewa kesandung tuduhan "menghina" Allah dalam sebuah pentas televisi swasta karena menginjak logo Laskar Cinta yang banyak disebutkan memakai kalimat 'Allah' dalam karpet yang dihamparkan oleh manager Republik Cinta.
Dalam kisruh tersebut pihak pertama kali yang melaporkan kejadian adalah Ustaz KH Wahfiyuddin yang menonton pertunjukan tersebut. Gugatan yang pantul-memantul menambah geger "kecelakaan" para pelantun lagu Laskar Cinta karangan Ahmad Dhani pentolan grup Dewa.
Tuntutan (terutama oleh ormas-ormas Islam) agar Ahmad Dhani diadili dan diseret ke penjara tambah kencang. Berita-berita di media sosial pun juga semakin bergemuruh.

Lukisan kaligrafi: Perahu Lomba Menuju Kebaikan
Terkait soal ini, saya sampai, pada episode kisah bada Jum'atan. Kala itu saya dipanggil Polda Metro Jaya untuk dimintai keterangan dan pendapat sebagai saksi ahli. soal ini.
"Bagaimana menurut Pak Sirojuddin sebagai saksi ahli, apakah sampai di sini saja atau perkara ini diteruskan sampai pengadilan? Tentu dengan alasannya," tanya interogator di Polda Metro Jaya kepada saya.
"Tidak perlu dilanjutkan, Pak," jawab saya. "Apalagi menurut pendapat saya Si Dhani itu tidak mungkin sengaja bermaksud menghina Allah. Dia sekawan (Dewa 19) itu memang menginjak logo yang dihamparkan oleh panitia, seperti petinju menginjak logo Don King. Mana dia berani menghina Tuhan. Yang berani menghina Tuhan itu hanya komunis atau atheis. Dhani itu tukang ibadah, sangat tahu agama, memahami filsafat dan tasawuf. Jadi sebaiknya tak diteruskan," tegas saya melanjutkan jawaban dari pertanyaan intregator Polda Metro Jaya. Dan setelah itu, Dhani memang bebas.
Lho, apa hubungannya dengan lukisan saya?
Memang, tidak lama sesudah itu, dalam pameran kaligrafi di Hotel Sahid, Jakarta, Dhani saya todong: "Dhan, tolong beli lukisan saya. "Yang mana, Pak Didin?" Dhani bertanya yang langsung saya tunjuk ayat "fastabiqul khairat" (فاستبقواالخيرات). Harga lukisan itu Rp 5 juta. Tapi Dhani membayarnya dengan RP 7,5 juta.
Di sini, Ahmad Dhani pun "membebaskan" lukisan itu dari "tahanan rumah" saya. Cuma, hanya waktunya yang berdekatan dengan huru-hara tulisan dan logo Laskar Cinta. Jadi ya hanya kebetulan. Tapi itulah kenangan saya terhadap sosok Ahmad Dhani dan kaligrafi 'Fastabikhul Khairat'.