Rabu 30 Jan 2019 16:19 WIB

Menjaga Api Iman Agar tak Padam di Negeri Paman Sam

Muslim Indonesia yang tinggal di Amerika membuat komunitas untuk menjaga silaturahim.

Ilustrasi Bersilaturahim
Foto: Republika/Prayogi
Masakan Indonesia Rendang

Selain pembelajaran agama, komunitas ini sering menggelar acara arisan di rumah anggota, takziyah jika ada anggota atau keluarga yang meninggal, serta rekreasi bersama di berbagai tempat di Amerika. Tapi apa dan di mana pun kegiatannya, yang tidak pernah luput adalah tradisi potluck-nya.

Potluck memang berbeda dengan pesta makan pada umumnya di Amerika. Semua makanan dan minuman dibuat anggota komunitas yang dibawa ke masjid untuk dinikmati bersama-sama. Yang lebih spesial adalah bukan saja dimakan secara berjamaah, tetapi kerena menunya yang mencirikan aneka ragam makanan dari seluruh daerah di Indonesia. Semuanya tersaji di dalam potluck komunitas Muslim Indonesia.

Hal inilah yang membuat penulis berasumsi nama Nusantara sesungguhnya tidak berafiliasi pada salah satu organisasi tertentu di Indonesia. Namun, lebih dikarenakan aneka ragam makanan Nusantara di dalam potluck. Misal, nasi liwet, berbagai buah-buahan, petai (sekalipun tidak ada jengkol dikarenakan sulitnya masuk Amerika), minuman teh khas Indonesia, rendang, aneka gorengan, kerupuk, gudeg, sop buntut, aneka soto, bahkan nasi goreng, bakso, dan satai. Kemudian ada minuman jus apel hangat yang dibawa salah seorang ibu bersuamikan warga AS.

Suhu ketika itu mencapai 15 derajat, bahkan mungkin lebih rendah lagi pada malam hari. Iklim semacam ini dapat membekukan hampir semua sajian makanan kecuali yang berkuah, karena selalu dihangatkan di atas kompor gas.

Penulis merasakan, betapa nikmatnya sajian Nusantara ini. Ingin sekali mengambil beberapa gelintir bakso dengan kuah panasnya, tapi tiba-tiba ketua komunitas mengajak semua anggota dan ustaz untuk masuk ke dalam masjid dan memulai kegiatan ceramah dan siraman rohani.

Kebetulan, ada tiga penceramah di masjid komunitas ini yaitu para peserta short course. Kami diminta memberikan siraman rohani karena dianggap ustaz bergelar doktor, sehingga sebanding dengan penceramah kondang yang pernah diundang sebelumnya.

Dalam kekhidmatan, sang penceramah menyampaikan beberapa materi di antaranya tentang silaturahim, mencari jodoh dengan ta’aruf melalui bantuan shalat istikharah, serta tanda-tanda orang masuk surga. Antusiasme jamaah terlihat jelas, mereka mendengarkan materi ceramah yang disampaikan oleh penceramah di masjid.

Hal itu terlihat khusuk, mereka menyimak dan diakhiri dengan pertanyaan yang datang bertubi-tubi dari jamaah berkisar tentang ta’aruf dan pernikahan kepada penceramah. Tidak hanya antusias, jamaah pun merasa begitu dekat dengan penceramah terlihat dari pertanyaannya yang cukup pribadi. Memang bukan hal yang aneh, karena baik anggota komunitas (jamaah) maupun penceramah, semuanya dari Indonesia.

Suasana keakraban ini jarang terjadi. Sesuai dengan pengakuan salah seorang anggota, bahwa jamaah sangat senang dengan isi ceramahaya. Mereka menyambut gembira kedatangan peserta short course sebagai ustaz bagi komunitas ini. Bahkan mereka rela untuk mengadakan banyak pertemuan baik pengajian maupun rekreasi di berbagai kesempatan.

Selesai pengajian, penceramah dan anggota pun akhirnya bisa menikmati sensasi makanan dan minuman potluck Nusantara yang sungguh nikmat. Penulis menangkap bahwa mereka adalah saudara se-Tanah Air di Amerika. Mereka benar-benar haus akan ilmu agama yang tentunya susah untuk mendapatkan ustaz di Amerika.

Sebaliknya, kondisi di Indonesia justru sebaliknya. Ada banyak pendidikan keagamaan di dalamnya. Anak sudah mulai mengaji. Di sekolah mereka belajar agama. Belum lagi mereka yang di pesantren dan perguruan tinggi Islam, pasti mendapatkan porsi pendidikan agama yang lebih banyak. Sudah sepatutnya Muslim di Indonesia bersyukur akan nikmat tersebut.

Bagi penulis, masjid At-Takwa di San Bernardino adalah kawah Candradimuka keislaman bagi komunitas NMC. Keakraban, kebaikan, persatuan dan persahabatan komunitas NMC jauh lebih guyub dan membekas di hati dibanding ramainya acara thanks giving, meriahnya festival light, bahkan ‘obral kebaikan’ black Friday di Best Buy. Begitu indahnya kebersamaan.

*) Dosen Universitas Muhammadiyah Cirebon

Seberapa tertarik Kamu untuk membeli mobil listrik?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement