REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Fajar Harry Sampurno, Deputi Bidang Pertambangan Industri Strategis dan Media Kementerian BUMN
Sejenak tinggalkan dulu persoalan pileg, pilpres, dan copras-capres. Ini oleh-oleh dari Korea Selatan (Korsel). Terus terang, penulis baru tahu ternyata mereka tidak mau disebut “Korea Selatan”. Secara resmi tidak ada Korsel atau South Korea.
Mereka superpercaya diri merasa “orang Korea”. Bahasanya pun “bahasa Korea”, tulisannya pun abjad Korea yang berbeda dengan Cina maupun Jepang. Mereka berbeda negara saja, mata uangnya sama-sama disebut “won" dengan dua singkatan KPW (utara) dan KRW (selatan) titik.
Merdeka dua hari sebelum proklamasi kemerdekaan RI, orang Korea tidak suka yang berbau Jepang. Termasuk bentuk sumpit karena mereka pernah dijajah Jepang antara 1910 sampai 1945.
Namun, yang lebih menyakitkan orang Korea, selain sumber daya alam dan sumber daya manusia mereka disedot habis Jepang, budaya kerajaan dan Dinasti Joseon yang dimulai tahun 1392 dihilangkan oleh Jepang.
Setelah Jepang kalah perang dan menyerah, pasukan sekutu pada 10 Agustus 1945 membagi penguasaan Korea. Saat itu, Uni Soviet menguasai bagian utara dari garis 38 LU dan AS menguasai bagian selatannya.
Pada 15 Agustus 1945, Korea menyatakan merdeka, tetapi hanya efektif beberapa bulan karena politik internasional dan perebutan “hegemoni dunia” antara blok demokrasi Barat dan blok sosialis Timur (atau lebih tepatnya Eropa Barat dan AS dengan Eropa Timur).
Akhirnya, dengan didukung AS, pada 15 Agustus 1948, berdiri Republik Korea (ROK) dengan Sygman Rhee sebagai presiden beribu kota di Seoul. Namun, pada 9 September 1948 di Pyongyang juga diproklamasikan Republik Demokrasi Rakyat Korea dengan Kim Il Sung sebagai perdana menteri dengan dukungan Uni Soviet.
Kondisi ini, mendorong tentara RDRK pada 1950 menginvasi dan menguasai hampir 95 persen Semenanjung Korea. AS dan PBB menugaskan jenderal bintang lima, MacArthur, yang sudah pensiun membantu Korsel dan menyerang balik hampir mencapai Pyongyang.
Mao Zedong yang baru saja menyatukan seluruh daratan Cina menjadi Republik Rakyat Tiongkok, lalu ikut campur mengerahkan pasukannya mendorong pasukan PBB dan AS kembali ke selatan sampai terjadi gencatan senjata tahun 1953 dalam bentuk DMZ (Demilitarized Zone) seperti yang kita kenal sekarang ini.
Sampai diterima menjadi anggota PBB pada 1960-an, Korsel merupakan negara miskin dengan GNP per kapita di peringkat 120 dari 121 negara anggota PBB waktu itu. Jauh di bawah Indonesia, Filipina, atau Laos.
Teman yang penulis panggil Erik menceritakan bagaimana ayahnya selalu mengingat kata Bahasa Inggris “gif mi cokelet” untuk meminta makanan kepada tentara AS saat Perang Korea dan ayahnya menyaksikan dua saudaranya meninggal karena kelaparan dan kedinginan.
Secara tidak tertulis dan dari dongeng orang-orang seperti ayahnya Erik, Korea (Selatan) bisa maju luar biasa seperti sekarang ini sebenarnya karena keajaiban Sungai Han.
Mereka meyakini dan percaya betul itu terjadi sejak Park Chung-hee mengambil alih pemerintahan dan mengenalkan Repelita yang konsisten. Perdana menterinya kemudian membuat istilah Keajaiban dari Sungai Han (Miracle on the Han River) untuk menyebut Repelita tersebut.
Ekspor yang hanya 32,8 juta dolar AS tahun 1960, sudah melewati angka 10 miliar dolar AS pada 1977 dan meloncat menjadi 495,4 miliar dolar AS pada 2016. Pendapatan per kapita yang hanya 16 dolar AS pada 1953 menjadi 29,745 dolar AS pada 2017.
Sedangkan cadangan devisanya tahun lalu, baru mencapai 389,3 miliar dolar AS atau 3,5 kali cadangan devisa Indonesia. Bedanya, Korea mengimpor semua bahan mentah seperti batu bara, minyak, gas, biji logam, yang mereka tidak impor hanya SDM.
Orang Korea tidak terlalu nasionalis, mereka hanya sangat patriotik, mendahulukan segala macam Korea dilakukan sejak Repelita dicanangkan tahun 1960-an. Jika ada antrean, petugas Korea akan menomorsatukan orang Korea.