Senin 19 Nov 2018 10:18 WIB

Tan Malaka: Syariat Islam, Serikat Islam, Hingga Musuh PKI

Selama ini jejak dan sosok perjuangan tetap masih kabur dalam sejarah.

Tan Malaka
Makam Tan Malaka di desa Selopanggung, Kediri.

Para peserta diskusi tentu saja sangat penasaran dengan data-data baru yang ditemukan Harry Foeze. Salah satunya  adalah tentang sikap Tan Malaka terhadap hubungan Moskow dan Komintern terhadap gerakan Islam di Indonesia yang direfresentasikan dalam Syarikat Islam sebagai bagian dari gerakan Pan Islamisme.

“Bagi saya soal ini memang masih sensitif, Namun menurut saya Tan Malaka seorang Muslim tetapi tidak fanatik, menurut saya Tan Malaka seorang ‘Islam Abangan’,” katanya.

Menurut Poeze, Tan Malaka dengan latar belakang kelahiran Minangkabau yang Muslimnya sangat taat membuat dia sangat lekat dengan Islam. Oleh karena Tan Malaka berlatar belakang Minangkabau ia berpendapat bahwa Islam harus menjadi alat reformasi bagl negara.

‘’Tan Malaka percaya bahwa Islam itu menjadi alat yang tepat untuk melakukan perjuangan dan reformasi keadaan bangsa Indonesia. Karenanya Tan Malaka sangat percaya dengan pembaharuan Islam. Oleh karena itu dia  kerjasama dengan Syarikat Islam sebagai refresentasi dari Panislamisme,’’ kata Poeze.

Harry Poeze menyimpulkan sikap Tan Malaka itu setelah dirinya melakukan penelitian di Moscow di semasa terjadi gelombang keterbukaan di Uni Sovyet, yakni semasa pemerintahan Gorbacev. Di sanalah menemukan surat-surat Tan Malaka kepada Moskow dan Direktorat Komintern Asia Tenggara, Dan surat tersebut memang bukan ditujukan kepada Lenin atau Stalin.

“Melihat itu semua, saya melihat Tan Malaka seorang yang 50 persen Islam dan 50 persen Marxis, jadi Tan Malaka tidak 100 persen Marxis juga tidak 100 persen Islam.” katanya. 

Apakah dengan demikian Tan Malaka bisa dikategorikan seorang filosof Muslim, Poeze menjelaskan, Tan Malaka lebih tepat dikatakan seorang filosof.  “Karya Madilog itu adalah karya seorang filosof yang penting yaitu bagaimana menerapkan Marxisme dalam masyarakat Indonesia,” jelasnya.

Tema lain dalam surat-surat Tan Malaka adalah pengembaraannya di Asia Tenggara. Sementara koran-koran termasuk koran Belanda selama ini tidak pernah memberitakan tentangan kegiatan-kegiatan Tan Malaka di Asia Tengara. “Dalam surat-surat itu ada tanggal, ada tempat dan tahun yang dalam berita-berita koran waktu itu tidak ada. Ini informasi yang menarik dan penting,” jelasnya.

Di tanya soal ada berita bahwa Tan Malaka pernah berperang melawan Inggris di Palestina, Poeze mengatakan tidak benar. Tak Malaka tak pernah pergi ke sana dan juga pergi ke kawasan Arab.

‘’Mungkin ketika pergi dan pulang ke Belanda, kapalnya sempat singgah di Port Said. Taou itu hanya sekedar singgah yang singkat, yakni hanya 12 jam. Jadi kabar yang katanya Tan Malaka pernah berada dan berperang di Palestina tak benar,’’ katanya.

Sampai sekarang, data terbaru mengenai pengembaraan Tan Malaka yang ditulis dalam surat-surat rahasianya itu menurut Harry Pooze belum dieksplor dalam buku-bukunya. Oleh karena itu dia menyatakan bahan itu akan menjadi buku  baru yang akan dia tulis sebagai revisi terhadap disertasinya. Yang jelas bagi Poeeze belum menemukan fakta dan data tentang kegiatan  Tan Malaka di Timur Tengah dan Palestina. “Itu hanya dongeng,” tandasnya.

Poeze lebih lanjut mengatakan, sikap Tan Malaka terhadap Moskow dan Komintern kemudian semakin kritis, Ini karena dia memandang bahwa Komintern dan Moscow tidak memperhatikan kepentingan perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia. Oleh karena itu kemudian Tan Malaka mendirikan Partai Republik sebagai kritik terhadap PKI, Moskow dan Komingtern.

“Hanya  sesudah tahun 1945 Tan Malaka dicap sebagai Trotkis, sehingga Tan Malaka sesungguhnya bukan seorang PKI. Bahkan semenjak pemberontakan PKI yang gagal pada tahun 1926 Tan Malaka dimusuhi oleh partai ini,’’ ujarnya.

Dalam sejarahnya, permusuhan PKI terhadap Tan Malaka makin telanjang usai proklamasi kemerdekaan. Kala perjuangan di Jawa Timur di harus menghadapi beberapa musuh sekaligus yakni Belanda, PKI, dan beberapa faksi atau kelompok tentara yang kala itu terafiliasi kepada PKI. Akibatnya, dia kemudian tewas tertembak. Dan makamnya ada di Selopanggung, Kediri.

Mengomentari siapa sosok Tan Malaka sebenarnya, Guru Besar Komunikasi UI asal Sumatra Barat, Prof DR Zukhasril Natsir, mengatakan Tan Malaka dikomuniskan sebagai akibat sosoknya tidak dikomunikasikan dengan baik ke seluruh warga Indonesia. Atau dengan kata lain, akibat dari sejarah yang di ‘of the record’-kan.

‘’Beberapa waktu lalu soal makamnya diperebutkan antara Pemda Tanah Datar dan Kediri. Ada pihak yang meminta makamnya dipindahkan ke  kampung halamannya di tanah Minang atau tetap di Jawa, yakni di Kediri karena dianggap sebagai bagian perjuangan bangsa. Tapi ini kemudian ditengahi, biarlah makamnya tetap di Selopanggung (Kediri) namun tempat kelahirannya di Nagari Pandam Gadang, Suliki, Lima Puluh Kota,, Sumatra Barat di jadikan petilasan,’’ katanya.

Senada dengan itu, Khatibul Umam selaku Direktur Eksekutif Tan Malaka Institute mengatakan, selama ini publik belum paham mengenai sosok Tan Malaka. Padahal perjuangannya besar bagi terbentuknya negara.

‘’Yang rancu Tan Malaka diidentikan dengan PKI. Padahal dia menjadi musuk PKI. Makanya semasa hidup dia diburu oleh anggota PKI,’’ katanya.

Nasib Tan Malaka memang tragis, selain diburu makamnya berada di tempat terpencil atau tak berada di makam pahlawan. Di Taman Makam Pahlawan Kalibata misalnya, yang di sana malah dari organisasi yang dahulu memburunya, Di sana malah ada makam Alimin, tokoh PKI yang meninggal di tahun 1960-an dan dinyatakan sebagai pahlawan nasional berdasarkan SK Presiden No. 163 Tahun 1964 tertanggal 26 Juni 1964.

Nah, beda dengan Alimin, sampai kini nasib Tan Malaka yang menulis buku sangat penting, yakni menuju Indonesia Merdeka (menginspirasi Perhimpunan Indonesia pimpinan Moh Hatta sewaktu belajar di Belanda) di awal dekade 1920 dan berjuang di banyak negara demi kemerdekaan Indonesia yang 100 persen, kini masih belum diakui sebegai pahlawan.

Dan di sini ada persamaan yang unik, baik Tan Malaka dan Hatta kemudian menjadi 'musuh besar' PKI. Kedua 'anak tanah Minang' ini pun tak dimakamkan di Makam Pahlawan, bahkan semasa hidup Hatta secara tegas menolaknya dengan alasan lebih baik 'bersama rakyat'.

photo
Pemberontakan PKI di Madiun tahun 1948.
 

Sama dengan Tan Malaka, hal unik lainnya, Hatta juga dijadikan musuh PKI karena dia melawan pemberontakan PKI di Madiun yang terjadi menjelang Agresi Belanda kedua, pada September 1948. Mereka malah sebut bila pemberontakan itu hasil provokasi Hatta. Dan selain itu, kekuatan PKI ini terus meledek Hatta baik soal hasil perjanjian penyerahan kedaulatan melalui Konprensi Meja Bundar pada tahun 1950-an atau yang hal lainnya. Sikap 'anti Hatta' ini terus terjadi hingga PKI kemudian dibubarkan pada tahun 1966. Jadi itulah sepenggal kisah Tan Malaka --dan kemudian Hatta-- yang menjadi musuh PKI nomor satu.

Seberapa tertarik Kamu untuk membeli mobil listrik?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement