REPUBLIKA.CO.ID, oleh Ani Nursalikah*
Jemari saya menyusuri isi Youtube di ponsel. Sebuah tayangan review salah satu produk kosmetik dari seorang beauty vlogger mengambil perhatian saya.
Bahasanya yang kekinian, segar, dan to the point memang menarik diikuti. Tak heran pengikutnya berbilang ratusan ribu.
Dengan fasih dia menjelaskan satu per satu kosmetik yang akan ia demonstrasikan. Tak lupa dia juga menyisipkan tips dan trik mengenakannya dan cara riasan tahan lama. Selama 20 menit saya terbius menontonnya hingga akhir.
Dunia kosmetik dan skin care memang tidak ada habisnya. Bayangkan saja jika semua pengikut satu beauty vlogger 'teracuni' dengan membeli produk riasan yang diunggah itu.
Sungguh pasar yang sangat menggiurkan. Dalam dua bulan terakhir saja, ada undangan peluncuran tiga lini kosmetik dan produk perawatan kulit baru yang masuk ke meja redaksi kami.
Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mengatakan industri kosmetik nasional mengalami pertumbuhan lebih dari 20 persen pada tahun lalu. Kinerja ini tidak terlepas dari permintaan besar dari masyarakat yang mulai memperhatikan produk perawatan tubuh sebagai kebutuhan utama.
Pertumbuhannya bahkan sampai dua digit atau empat kali lipat dari pertumbuhan ekonomi nasional. Masuk akal Kemenperin kemudian menempatkan industri kosmetik sebagai sektor andalan.
Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto pernah mengatakan industri kosmetik di dalam negeri bertambah 153 perusahaan pada 2017, sehingga jumlahnya mencapai lebih dari 760 perusahaan. Dari total tersebut, 95 persen industri kosmetik nasional merupakan sektor industri kecil dan menengah (IKM) dan sisanya industri skala besar.
Di tengah bombardir iklan di media membuat banyak perempuan berlomba-lomba membuat dirinya tampak menarik. Apalagi penjualan lewat online sangat gencar. Tentu kita sangat akrab dengan hal ini.
Begitu mudahnya membeli barang lewat online. Cukup telusuri barang yang kita inginkan di layar ponsel, bayar lewat aplikasi mobile banking, dan barang diantar ke rumah. Tak perlu macet dan panas-panasan di jalan. Hal ini tentu mendorong tumbuhnya pasar kosmetik. Membeli lewat online pun harus jeli. Salah-salah bisa kena tipu barang palsu kita.
Selama 2018, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) masih menemukan kosmetik ilegal yang mengandung bahan berbahaya, seperti pewarna yang dilarang (merah K3) dan logam berat (timbal). BPOM menemukan bahan berbahaya di kosmetik didominasi produk mengandung merkuri, hidrokinon, dan asam retinoat. Secara umum bahan tersebut dapat menyebabkan kanker (karsinogenik), kelainan pada janin (teratogenik), dan iritasi kulit.
Pilihlah kosmetik yang memiliki nomor registrasi BPOM. Kosmetik yang ilegal berarti belum diuji oleh BPOM, dan tidak bisa diketahui apakah kandungannya aman bagi kulit atau tidak. Selain itu, selalu cek kemasan, label, izin edar, dan kedaluwarsa.
Di sisi lain, citra perempuan cantik yang populer di masyarakat kita masihlah perempuan berkulit putih, berambut panjang dan wajah mulus bak porselen. Padahal setiap perempuan mempunyai kecantikan khasnya. Tidak bisa disamakan.
Citra diri ini mau tak mau mempengaruhi pandangan perempuan terhadap dirinya. Bahwa untuk dianggap menarik harusnya berkulit putih. Coba lihat di pasaran, produk dengan embel-embel 'whitening' amatlah banyak.
Saya sendiri tak pernah mengalami masalah akibat menggunakan macam-macam produk kosmetik di pasaran. Itu lantaran saya tak mudah tertarik mencoba berbagai merek kosmetik. Sesekali mencoba atas rekomendasi teman atau ya itu tadi, menikmati 'racun' dari para beauty vlogger itu, dan ujungnya membeli kosmetik hasil ulasan mereka.
Tapi, beberapa teman pernah mengalami masalah pada kulitnya akibat memakai kosmetik tak jelas. Kemasannya biasanya hanya polos dan yang pasti tak ada nomor registrasi BPOM. Efeknya mulai dari jerawat hingga warna kulit menghitam. Tak jarang dari mereka akhirnya memilih berkonsultasi ke dokter karena masalah itu tak bisa diselesaikan hanya dengan produk yang beredar di pasaran.
Di sinilah perlunya menjadi konsumen cerdas. Cerdas dalam memilih produk kosmetik yang dipakai. Jangan sampai keinginan tampil cantik dan menarik sampai mengorbankan kesehatan.
*) Penulis adalah redaktur Republika.co.id