Jumat 28 Sep 2018 05:01 WIB

Nusantara dalam Kitab Suci dan Kakawin Nagarakertagama

Kapur identitas wilayah Nusantara ternyata juga termaktub dalam kitab suci Alquran.

Negarakretagama sebagai salah satu identitas bahasa sansekerta ada dalam bahasa Indonesia.
Foto: Menachem Ali
Negarakretagama sebagai salah satu identitas bahasa sansekerta ada dalam bahasa Indonesia.

Oleh: Menachem Ali, Dosen Filologi Universitas 
Airlangga

Bila teks keagamaan Hindu bertradisi Arya migrasi ke wilayah Nusantara, maka muncullah kosakata "Geni" (api) dalam bahasa Jawa, yang berasal dari kata "Agni" (api) dalam bahasa Sanskrit.

Begitu pula munculnya kosakata "Santri" (orang yang belajar kitab-kitab Islam di pesantren) dalam bahasa Jawa merupakan bentuk Islamisasi dari terminologi keagamaan Hindu (Islamized Brahmanic term) yang asalnya diadopsi dari kosakata bahasa Tamil, yakni "Santri" (orang yang belajar kitab Veda dan Vedanta). Dan istilah ini ternyata juga berasal dari kata "Sastri" (orang yang belajar kitab Veda dan Vedanta) dalam bahasa Sanskrit, sedangkan kitab Veda dan Vedanta itu sendiri disebut "Sastra" dalam bahasa Sanskrit.

Jadi sebenarnya banyak kosakata Sanskrit yang diadopsi dalam bahasa Jawa. Hal ini membuktikan adanya kontak budaya dan kontak bahasa yang telah terjalin sejak lama antara tradisi besar peradaban Arya dengan peradaban Nusantara. Bahkan, adanya kontak budaya dan kontak bahasa antara bangsa Arya dan bangsa Nusantara justru sejak dini terdokumentasi dalam kitab suci Hindu, yakni kitab suci Ramayana.

Hal ini dapat ditelusuri melalui istilah "Jawa" itu sendiri, yang dalam bahasa Jawa merupakan istilah geografis yang merujuk pada makna sebuah pulau, yang sejajar dengan istilah geografis khas Vedic Sanskrit, yakni istilah "Yava-dvipam." Di antara para ahli memang ada perdebatan mengenai istilah Yava-dvipam yang termaktub dalam teks kitab suci Ramayana tersebut.

Jadi ada 2 alternatif dalam membahas persoalan tersebut. Pertama, istilah Yava-dvipam merupakan istilah asli bhs Sanskrit yang kemudian mengalami proses Jawanisasi menjadi "Jawa-dwipa" yang artinya "pulau Jawa." Hal ini tentu maknanya merujuk pada konteks wilayah Jawa. Kedua, istilah Yava-dwipam merupakan bentuk Indianisasi dari istilah Jawa-dwipa yang kemudian diadopsi dalam teks kitab suci Ramayana, karya Walmiki.

Hal ini juga membuktikan sebuah fakta tentang adanya kontak budaya yang sangat luar biasa di masa kuno antara India dan Nusantara. Bukankah wilayah India disebut Voor Indie, sedangkan Nusantara disebut Achter Indie?

Prof Mukunda Madhava Sharma menyatakan bahwa sekalipun apa yang ada di dalam kitab Ramayana tentang nama Yavadvipa diakui sebagai sebuah interpolasi, tetapi ini meniscayakan adanya fakta-fakta lain yang membuktikan di luar dugaan tentang adanya hubungan perdagangan di antara India dan Indonesia yang telah eksis sejak abad ke-1 M. (Lihat Mukunda Madhava Sharma).

Unsur-unsur Bahasa Sanskerta dalam Bahasa Indonesia (Denpasar: Vyasa Sanggraha, 1985, halaman 6). Dengan demikian, identitas wilayah Jawa memang telah tercatat dalam kitab suci Veda Ramayana, sehingga tidak mengherankan bila teks Veda akhirnya juga migrasi ke wilayah Nusantara, khususnya wilayah Jawa.

Dalam Veda Ramayana, bagian Kiskinda-khanda 40:30 disebutkan: yatnavanto Yava-dvipam
sapta rajyopa-sobhitam ("Selanjutnya kalian akan memasuki wilayah pulau Jawa yang termasyhur, dan terdiri atas tujuh kerajaan").

Identitas wilayah Nusantara ternyata bukan hanya terdokumentasi dalam kitab suci Hindu, yakni kitab suci Ramayana. Namun, identitas wilayah Nusantara ternyata juga termaktub dalam kitab suci umat Islam, yakni kitab suci Quran. Dalam kitab suci Quran tertulis demikian:

ان الابرار يشربون من كاءس كان مزاجها كافورا (سورة الانسان 76:5).

("Sesungguhnya orang-orang yang berbuat kebajikan minum dari gelas yang berisi minuman yang campurannya adalah air kafur.")

Menurut Tafsir DEPAG, "kafur" merupakan suatu mata air di sorga yang airnya putih dan baunya sedap serta enak sekali rasanya. Menurut Ibnu 'Asyur, yang dimaksud dengan kata كافور (kafur) adalah sejenis minyak (damar) yang diperoleh dari pohon tertentu, sejenis pohon karas yang banyak terdapat di China dan Jawa - maksudnya Asia Tenggara, (lihat M Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur'an. Volume XIV (Jakarta: Lentera Hati, 2012, halaman 570).

Jadi, istilah كافور (kafur) bukanlah kosakata asli bahasa Arab, tetapi merupakan adopsi dari bahasa Melayu atau pun Jawa. Itulah sebabnya dalam teks Arab klasik, orang-orang Jawa selalu dikenal oleh para penulis Arab dengan julukan Ashab al-Jawiyyin (orang-orang Asia Tenggara) yang bertutur dalam bahasa Melayu sebagai media lingua franca mereka, yakni bahasa persatuan dalam perdagangan.

Hal ini sekaligus dapat disimpulkan bahwa fakta historis menandai adanya hubungan dagang sejak masa pra-Islam antara bangsa Arab dengan bangsa-bangsa di Asia Tenggara, khususnya Melayu dan Jawa.

Sementara itu, sejak pasca-Islam, penerbit kitab-kitab Islam berbahasa Arab di Timur Tengah, misalnya Mustafa al-Babi al-Halabi (Kairo, Mesir), Dar al-Kutub Ilmiyyah dan Dar Ihya' al-Turats al-'Arabi (Beirut, Lebanon), telah menerbitkan Tafsir Al-Jalalayn bil Lughah Al-Jawi (lit. "Tafsir Jalalayn dalam terjemahan bahasa Jawa"). Fakta ini sekaligus menandai eksistensi popularitas wacana bahasa Jawa-Kitabi di ranah internasional sebagai bahasa akademik, terutama di kalangan para akademisi Islam dan para ulama di Timur Tengah, (lihat M Ali, Urgensi Bahasa Jawa-Kitabi sebagai Identity Marker Kitab-kitab Turats Al-'Arabi di Pesantren Jawa Timur (Yogyakarta: Elmatera, 2012, halaman 59-60).

Mpu Prapanca, dalam Kakawin Nagarakertagama, pupuh 1.3. menyebutkan demikian:

san sri natha ri wilwatikta
haji rajasanagara wisesa bhupati, 
saksat janma bhataracnatha 
sira n anhilanaken i kalenkan in praja, 
hentyan bhumi jawatibhakti
manukula tumuluy i teken digantara.

("Sang Maharaja di Wilwatikta Raja Rajasanagara yang sangat masyhur kekuasaannya, dia bagaikan jelmaan Bathara Natha yang menyirnakan kesengsaraan rakyatnya, seluruh bumi Jawa tunduk dan berbakti hingga sampai seluruh penjuru negeri lainnya", lihat Damaika dkk. Kakawin Nagarakertagama. Teks Asli dan Terjemahan (Yogyakarta: Narasi, 2018, halaman 23).

Bila Mpu Prapanca dalam Nagarakertagama menyebut wilayah Nusantara dengan sebutan "bhumi Jawa" dan "digantara", maka penyair Kalidasa yang hidup pada abad ke-4 M juga menyebutkan kawasan ini dengan sebutan "dvipantara" yang merujuk pada kawasan Nusantara, yang dalam Kakawin Nagarakertagama. Para penghuni kawasan ini disebut "won Nusantara", (lihat Prof. Mukunda Madhava Sharma. Unsur-unsur Bahasa Sanskerta dalam Bahasa Indonesia,Denpasar: Vyasa Sanggraha, 1985, halaman 6).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement