Oleh: DR Fuad Bawazier, Mantan Menteri Keuangan.
Tidak biasanya, tiba tiba saja pada 28 Mei 2018 Pemerintah (Menteri Keuangan dan Menko Perekonomian), BI, OJK, dan LPS menerbitkan Keterangan Pers Bersama (KPB) tentang penguatan koordinasi dan bauran kebijakan untuk menjaga stabilitas perekonomian. Dalam kesempatan itu mereka menyebutkan kondisi perekonomian Indonesia cukup baik dan kuat.
Tentu tujuan KPB ini untuk menenangkan masyarakat. Bagi saya ini berarti pemerintah menyadari bahwa ada sesuatu yang serius dalam perekonomian Indonesia yang membuat pelaku pasar gelisah, sehingga tidak tradisinya menerbitkan KPB.
Sayangnya argumentasi dan pernyataan pernyataan yang dikemukakan dalam KPB ngambang dan tidak full disclosure sehingga bagi orang yang mengerti ekonomi seketika saja tahu bahwa KPB itu semacam propaganda untuk menutup kepanikan sekaligus mengantisipasi ancaman krisis. Paling tidak, dengan cara KPB ini Pemerintah telah menyeret atau mencoba berbagi tanggung jawab dengan BI, OJK, dan LPS.
Bagaimana bukan propaganda bila hal hal yang paling bermasalah sekarang ini yaitu defisit Transaksi Berjalan, dalam KPB ini hanya disinggung (ditutupi?) dengan mengatakannya sbb. : “........ defisit meningkat pada Triwulan I 2018 menjadi 2,1% dari PDB tetapi masih lebih rendah dibandingkan Triwulan I tahun 2013 ..........”. Padahal, semestinya dibandingkan dengan targetnya dan dengan tahun sebelumnya (2017). Begitu pula pertumbuhan ekonomi Triwulan I 2018 yang hanya disebutkan tumbuh 5,06% tanpa perbandingan dengan targetnya (5,4%) ataupun tahun sebelumnya. Disebutkan bahwa defisit Transaksi Berjalan tahun 2018 diperkirakan dibawah 2,5% dari PDB sehingga masih aman karena tidak melebihi 3% dari PDB.
Argumentasi-argumentasi itu terasa normatif dan formalitas seperti ini juga biasa digunakan pemerintah untuk menjustifikasi defisit APBN yang maksimum 3% PDB dan utang negara yang maksimum 60% PDB sesuai UU Keuangan Negara No. 17 Tahun 2003. KPB juga membandingkan keterpurukan kurs rupiah dengan mata uang Turki dan Brazil, bukannya dengan sesama negara ASEAN. Sedangkan terhadap jatuhnya IHSG di BEI disebutkan sebesar 5,98% masih terkendali dan itu karena keluarnya arus modal asing dari pasar saham.
Sayangnya tidak disebutkan berapa modal asing yang keluar dari pasar saham atau ekonomi Indonesia pada umumnya. Singkat kata, KPB itu lebih tepat disebutkan sebagai permainan kata kata dan kalimat tetapi tidak full disclosure, untuk tidak mengatakan propaganda.
Jujur saja kami kasihan atau prihatin pada BI, OJK dan LPS yang berdasarkan sistem keuangan nasional sekarang ini seharusnya independen, kini di bawa bawa untuk ikut bertanggung jawab pada kondisi perekonomian pada umumnya.
Pada saat yang bersamaan, dalam dokumen KPB ini juga disebutkan adanya UU No.9/ Thn 2016 Tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis yang memberikan kewenangan istimewa bagi Pemerintah, BI, OJK dan LPS bertindak dalam hal terdapat ancaman krisis. Kewenangan istimewa ini di perkuat atau dipermudah penggunaannya sebagaimana termuat dalam UU APBN 2018 yang juga sudah kami kritisi karena mengandung semangat moral hazard yang tinggi.
Jadi bukan tidak mungkin atau cukup berdasar bagi kami yang sering mengingatkan bahwa tahun politik identik dengan tahun krisis ekonomi seperti tahun 1998 dengan skandal BLBI, tahun 2008 dengan skandal Bank Century, dan tahun 2018 dengan skandal: “tanyalah pada ahlinya/pemainnya”.
Jakarta, 30 Mei 2018