Senin 19 Mar 2018 15:16 WIB

Deg-degan dengan Visa 'Waiver' Jepang

Jika ditolak ya dideportasi dan seluruh biaya yang timbul menjadi tanggungan sendiri.

Ilham Bintamng dan Isteri di Jepang.
Foto: Ilham Bintang
Ilham Bintamng dan Isteri di Jepang.

Oleh Ilham Bintang*

Ini soal Visa Waiver Jepang.  Sejak  1 Desember 2014 pemerintah Jepang memberlakukan keringanan atau bebas VISA (VISA waiver) khusus untuk Warga Negara Indonesia (WNI)  pemegang E-Paspor  yang akan berkunjung ke negeri matahari terbit itu.

Namun, ternyata  tidak semua pihak  punya pemahaman  sama mengenai Visa Waiver itu. Bahkan, juga tidak oleh seluruh petugas maskapai penerbangan Jepang, All Nippon Airways (ANA) di Indonesia yang mestinya sudah katam soal itu. Saya bersama isteri dan seorang anak pun nyaris jadi korban tak bisa berangkat ke negeri Sakura itu,  Sabtu (10/3) pagi. Dan, selama penerbangan tujuh jam Jakarta - Tokyo, kami betul- betul merasakan kecemasan hebat akibat "teror" mereka. ( Pihak ANA).

Kami berangkat dari rumah sebelum salat Subuh. Berharap bisa salat di Bandara nanti. Tapi  salat subuh pun lewat lantaran waktu habis  berdebat dengan pihak ANA.

Saya tidak bisa membayangkan seperti apa  kalau sampai menuruti mereka. Kami harus terpisah  dengan rombongan besar, delapan belas orang  yang terdiri menantu, anak, dan delapan cucu. Atau seluruh rombongan batal berangkat.

Tujuan pemerintah Jepang  memberi Visa Waiver  selain untuk mempererat hubungan Indonesia-Jepang, kebijakan itu  juga diharapkan mendorong pariwisata Jepang. Agar semua  wisatawan yang berasal dari Indonesia dapat berkunjung berkali-kali ke negeri sakura tersebut.

Kami  check in di counter ANA pukul 04.30 WIB  untuk jadwal keberangkatan 06.15 WIB. Visa Waiver  disoal pihak ANA di Terminal 2 Bandara Soekarno Hatta. Visa Waiver Jepang kami dikeluarkan tahun 2015, berlaku tiga tahun hingga 26 Mei 2018. Sementara masa berlaku Passport kami bertiga  hingga  30 Mei 2018.

Sesuai ketentuan, enam bulan sebelum berakhir, passport harus diperpanjang untuk dapat berpergian ke luar negeri. Imigrasi tak akan mengizinkan  keluar negeri apabila masa berakhir passport tak sesuai ketentuan itu. Paling pahit, kalau toh memaksa berangkat juga diminta menandatangani formulir " seandainya ditolak oleh pihak Imigrasi negara tujuan maka seluruh akibatnya harus ditanggung sendiri.

"Berdasar" pertimbangan dan pengalaman itu kami  memperpanjang passport pada bulan Desember 2017 yang berlaku hingga 2022. Setelah itu kami mengajukan permohonan untuk mendapatkan Visa Waiver baru karena menganggap visa lama tidak berlaku. Pertimbangannya  terulis pada ketentuan dalam sticker Visa yang melekat di pasport : "VISA waiver berlaku selama 3 tahun atau selama masa berlaku E-Paspor (mana lebih dulu).

"Travel agent kami" yang sudah bertahun-tahun jadi langganan kami yang mengurus pengajuan visa itu.  Untuk ke Jepang kali ini bukan cuma kami bertiga, tetapi juga anak, menantu dan cucu -cucu. Jumlahnya 18 orang.

Namun, yang dapat visa cucu-  cucu saya. Sedangkan kami bertiga, tidak. Kedutaan Besar Jepang di Jakarta seperti dikutip  oleh pihak travel, beranggapan Visa Waiver saya masih berlaku. Tampaknya mereka  berpegang pada masa berlaku passport lama, berakhir 30 Mei 2018, sementara trip kami  ke Jepang terjadi medio  Maret. Clear.

Namun, kenyataan di lapangan lain. Subuh itu, pihak ANA bersikukuh kaku kami tak boleh berangkat.  Mereka  sudah mengontak pihak ANA dan Imigrasi di Tokyo, putusannya begitu. Visa sudah berakhir bersamaan dengan terbitnya passport baru. Sebab, itu sama artinya, passport lama tidak berlaku. Masuk akal juga.

Passport lama memang saya lekatkan dengan passport baru supaya mudah dibaca bersama apa ketentuan  tertulis di situ. Saya ulangi : "VISA waiver berlaku selama 3 tahun atau selama masa berlaku E-Paspor (mana lebih dulu)". Tapi, passport sebenarnya masih berlaku hingga 30 Mei 2018.

Lalu, bagaimana dengan pertimbangan pihak Kedubes Jepang RI di Jakarta?  Mereka tak bisa menjawab. Inilah senjata saya. Setelah berdebat lebih satu jam, akhirnya mereka bikin solusi:  boleh berangkat, tetapi harus menandatangani pernyataan di formulir yang mereka sediakan. Isinya : bersedia menanggung segala risiko jika ditolak pihak Imigrasi Jepang. Maksudnya, jika ditolak ya dideportasi dan seluruh biaya yang timbul menjadi tanggungan sendiri. Konsekwensi ini saya terima, daripada semua rombongan batal berangkat. Anak,

menantu  dan cucu-cucu  tak bersedia berangkat tanpa kami ikut. Putusan ini diambil pada detik-detik menjelang pesawat take off. Seluruh penumpang sudah naik pesawat. Sudah last calling. Akhirnya kami pun berlarian memasuki pesawat. Penerbangan Jakarta - Tokyo sekitar 7 jam.

Praktis selama itulah kami merasakan kecemasan yang hebat. Beruntung dalam kabin pesawat ada wifi. Selama masa penerbangan itu saya memanfaatkan waktu untuk mengontak semua kawan yang punya relasi dengan Jepang dan yang saya anggap mengetahui soal visa ini. Dari pihak  Kedubes RI di Jepang saya hubungi termasuk Dubes Arifin Tasrif, yang menjawab belasan jam kemudian. Dubes hanya mengirim nomer kontak Bob Nasution, bagian protokol KBRI, tanpa komentar.

Saya hubungi kawan lainnya, Ananda Setiyo Ivananto, yang punya relasi di Jepang karena praktis sudah 7 tahun terakhir tinggal di sana. Ivan juga tak lupa mengirim nomer kontak Andri Sumaryadi staf KBRI. Namun, yang bersangkutan sedang berada di tanah air. Ivan menyarankan kami berpegang pada pernyataan Kedubes Jepang di Jakarta.

Saya juga menghubungi Rinaldi Syarif, sahabat yang mantan Wakil Direktur Utama Panasonic Gobel. Pendapatnya sama dengan Ivan. Tapi dia tambahkan supaya perbanyak dzikir. Meskipun hampir semua memberi jawaban normatif, tidak bisa memastikan secara hukum dan adab diplomatik, namun cukup berperan mengurangi kecemasan.

Pernyataan Kedubes Jepang di Jakarta yang disampaikan pihak travel memang tidak tertulis. Maka itu sulit sekali jadi pegangan. Inilalah pemicu  kecemasan : bagaimana seandainya  pihak Imigrasi Jepang menolak masuk. Ini jelas pekerjaan berat buat kami. Apalagi pihak travel yang saya kontak sejak awal,  sejak pagi untuk menkonfirmasi pernyataan Kedubes Jepang, tidak membalas-balas WA hingga penerbangan sudah berjalan 5 jam. Artinya sisa dua jam lagi penerbangan, sisa sekitar dua jam lagi drama di loket Imigrasi Jepang akan terjadi.

Saya mencoba tidur, tapi tak bisa. Penerbangan sisa tiga puluh menit lagi,  tiba-tiba muncul sapaan pihak travel.  " Siap, Pak! Ada yang bisa dibantu?".

Alhamdulillah.  Saya ceritakan problem kami. Inilah jawaban mereka.Sisa waktu untuk landing tinggal 20 menit.

Saya kutip seutuhnya. "Pak Ilham mohon maaf sekali sepertinya orang saya ada salah penyampaian dengan orang bagian Dokumen kami. Teddy tanya ke orang yang urus dokumen kalau Visa Jepang masih ada di passport lama dan passport lamanya sudah habis masa berlakunya apakah dengan passport baru perlu urus Visa Jepang lagi atau tidak apabila Visa Jepang yang di passport lama masih berlaku.  Orang saya yang urus dokumen bilang tidak perlu tinggal bawa saja Visa yg masih berlaku di passport lama. Yang jadi masalah adalah  Teddy tidak memberitahu Visa Jepang yang Pak Ilham punya adalah Visa Waiver bukan Visa biasa. Mohon maaf sekali lagi Pak Ilham atas kesalahan dr Teddy. Mudah- mudahan Pak Ilham diizinkan masuk ke Jepang oleh Imigrasi Tokyo."

"Masya Allah!". Tidak banyak yang bisa dilakukan di saat genting seperti ini kecuali memanjatkan doa minta pertolongan Allah SWT. Persis dengan anjuran Rinaldi Syarif tadi, banyak berzikir.  Sofyan  memang menginformasikan juga  masalah ini kepada Pak Rachmat Gobel ahli Jepang, utusan  khusus Presiden RI untuk Jepang. Heru San, salah stafnya di Panasonic Gobel diutus ke Narita untuk membantu menjelaskan kepada pihak Imigrasi dalam bahasa Jepang.

Bismillah! Tiba di counter Imigrasi. Saya pelihara semangat. Isteri saya duluan diproses, aman.  Lalu puteri saya, beres. Kini giliran  saya. Petugas Imigrasi melembar-lembar passport saya mencari sticker Visa Waiver. Saya tunjukkan di passport lama. Dia tersenyum. Cop. Langsung dia lekatkan sticker izin landing untuk 15 hari di Jepang.

Sekali lagi terima kasih yaa Allah. Ini semua berkat pertolonganMu. Termasuk menenangkan jiwa dari rasa geram terutama pada agen travel Mandiri Wisata.

Saya tulis ini setelah tiba kembali di Tanah Air, Minggu (18/3) tengah malam, dengan pesan kita harus extra hati-hati mengurus dokumen perjalanan via agen, meskipun sudah langganan belasan tahun.

*Ilham Bintang, Pimred Cek and Ricek, sekretaris Dewan Kehormatan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat.

Advertisement
Berita Terkait
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement