REPUBLIKA.CO.ID Oleh: Ferry Kisihandi, Jurnalis Republika untuk Isu-Isu Internasional
Persaingan di antara negara-negara kawasan Timur Tengah belum sirna. Keinginan untuk membangun hegemoni di kawasan juga kian menguat. Kekhawatiran kalah pamor tumbuh hingga memicu mereka berlomba meningkatkan pertahanan dan persenjataan.
Konflik di sebuah negeri, juga akhirnya menjadi ajang uji coba kekuatan sejauh mana pengaruh mereka. Selain itu, tentu saja kompetisi pertahanan dan persenjataan. Lihatlah Suriah, Yaman, Lebanon, kemudian sengketa Qatar dengan negara-negara tetangga Arabnya.
Tujuh tahun berlalu, belum ada tanda-tanda perang saudara di Suriah bakal berakhir. Demikian pula di Yaman. Di kedua negara ini, konflik yang mendapatkan sokongan langsung maupun tak langsung negara berbeda, telah merenggut banyak nyawa.
Jutaan orang menderita karena kelaparan dan penyakit. Ada pula yang memutuskan untuk menuju negara lain, mempertaruhkan nyawa di ganasnya gelombang lautan. Ego membuat serangkaian permasalahan di kawasan tak kunjung usai.
Bahkan, aliansi di luar kawasan dibangun. Dalam kunjungannya ke London, 7 Maret 2018, Putra Mahkota Arab Saudi Pangeran Muhammad bin Salman (MBS) bersepakat dengan Perdana Menteri Inggris Theresa May mengadang upaya Iran mengganggu stabilitas kawasan.
Di sisi lain, Iran serta Suriah membangun persekutuan dengan Rusia. Lalu, sebenarnya siapa yang meraih keuntungan di tengah persaingan meraih hegemoni di kawasan? Para sekutu di luar kawasanlah yang menuai manfaat baik secara ekonomi maupun politik.
Pada kunjungannya ke London, misalnya, MBS dan Menteri Pertahanan Inggris Gavin Williamson menandatangani memorandum of intent. Ini membuat langkah Saudi kian dekat mencapai kesepakatan pembelian 48 pesawat tempur Typhoon buatan BAE Systems.
Ini tentu membuat BAE dan Inggris semringah. Sebab, pesanan awal ini datang setelah dua bulan sebelumnya BAE mengumumkan pemangkasan tenaga kerja, yang disebut BBC dengan 2.000 job cuts karena lesunya pesanan pesawat buatan BAE.