Senin 26 Feb 2018 08:48 WIB

Mengatasi Perlambatan Ekonomi

Ironisnya, lebih banyak bank menerima dana daripada menyalurkannya.

Proyek pembangunan Bogor Outer Ring Road (BORR) yang terhenti sementara, Rabu (21/2). Penghentian dilakukan pasca moratorium semua proyek konstruksi elevated pada Selasa (20/2).
Foto: Republika/Adinda Pryanka
Proyek pembangunan Bogor Outer Ring Road (BORR) yang terhenti sementara, Rabu (21/2). Penghentian dilakukan pasca moratorium semua proyek konstruksi elevated pada Selasa (20/2).

REPUBLIKA.CO.ID Oleh: Imam Wahyudi Indrawan, Mahasiswa Master of Economics International Islamic University Malaysia

Tahun 2017 yang telah berlalu merupakan tahun yang tidak terlalu menggembirakan.

Meskipun pertumbuhan ekonomi mencapai angka lima persen pada tahun lalu yang menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara dengan pertumbuhan ekonomi yang cukup baik di dunia, angka tersebut masih jauh dari yang diharapkan.

Ekonom dan juga mantan menteri keuangan, Chatib Basri, menilai, ekonomi Indonesia saat ini sedang dilanda stagnasi, setelah pertumbuhan yang kuat akibat kenaikan harga komoditas pascakrisis keuangan global 2008 lalu.

Masih menurut Chatib, stagnasi pertumbuhan ekonomi beberapa tahun terakhir yang tidak mampu menyentuh angka enam persen dikhawatirkan akan membuat Indonesia terjebak sebagai negara pendapatan menengah dan tidak mampu naik kelas menjadi negara kaya, yang diukur dengan produk domestik bruto (PDB) per kapita.

Selain stagnasi pertumbuhan ekonomi, ada sejumlah faktor yang menjadikan pemerintah dan para ekonom harus bekerja ekstra keras untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi Islam. Studi yang dilakukan Raden Pardede dan Shirin Zahro dari CReco Research Institute memotret secara komprehensif kondisi perekonomian Indonesia saat ini.

Studi yang diterbitkan dalam Bulletin of Indonesian Economic Studies itu menyebutkan, ada sejumlah fenomena menarik yang mewarnai perekonomian Indonesia sepanjang tahun 2017 yang lalu.

Pertama, adanya penurunan penjualan gerai ritel. Isu penurunan penjualan di sejumlah gerai ritel di kota-kota besar hingga tutupnya sejumlah gerai ritel tersebut sempat menjadi polemik di tingkat nasional.

Selain adanya dugaan terjadi perlambatan konsumsi di masyarakat, penutupan gerai ritel tentu merupakan pukulan bagi pemerintah yang tengah berupaya meningkatkan pendapatan dari sektor perpajakan.

Tanpa tambahan dana seperti saat masa amnesti pajak, penutupan gerai ritel besar di kota-kota utama Indonesia adalah peringatan bagi kebijakan fiskal negara.

Kedua, konsumsi rumah sebagai penyumbang utama PDB Indonesia mengalami pertumbuhan yang stagnan. Artinya, tidak ada pertumbuhan konsumsi yang signifikan memperkuat pertumbuhan ekonomi sebagaimana biasanya.

Bahkan tidak pada saat momentum Idul Fitri yang biasanya ditandai dengan peningkatan konsumsi rumah tangga.

Meskipun faktor makroekonomi, seperti penurunan pengangguran (dari 5,61 persen menjadi 5,33 persen), penurunan suku bunga oleh Bank Indonesia hingga mencapai 4,25 persen, dan kenaikan upah riil hingga 14 persen sepanjang 2017 disertai indeks kepercayaan konsumen yang tinggi pada tingkat 110,3 poin, tapi konsumsi rumah tangga tetap tidak mengalami tingkat pertumbuhan yang sebagaimana diharapkan.

Sejumlah faktor seperti pengalihan pengeluaran konsumsi untuk kebutuhan tamasya dan jasa serta moda transaksi yang berbasis daring dianggap sebagai sejumlah faktor penyebab perlambatan konsumsi masyarakat.

Ketiga, di saat bersamaan, ada fenomena baik masyarakat golongan kaya maupun miskin sama-sama menahan diri untuk melakukan konsumsi, meskipun dengan alasan yang berbeda.

Golongan kaya menahan konsumsi pada kebutuhan pokok dan mengeluarkan konsumsi lebih banyak untuk bertamasya dan membeli barang mewah, dengan mayoritas pendapatannya akan disimpan pada tabungan atau instrumen keuangan atau berinvestasi.

Sementara golongan miskin--mengingat mayoritas bekerja di sektor informal--maka upah riil mereka menurun dan pendapatan mereka habis untuk keperluan sehari-hari serta membayar tagihan. Misalnya, tagihan listrik yang mengalami kenaikan, sehingga semakin menggerus pendapatan mereka dan mengurangi konsumsi.

Keempat, ketika golongan miskin tidak mampu berkonsumsi karena kelemahan daya beli, golongan kaya dengan daya beli yang kuat justru lebih banyak menabung dan menahan investasinya.

Hal ini terlihat dari indikator pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) perbankan yang lebih cepat daripada pertumbuhan kredit yang disalurkan perbankan, meskipun suku bunga kebijakan dari Bank Indonesia telah diturunkan.

Hal ini menunjukkan, lebih banyak bank menerima dana daripada menyalurkan dana kepada masyarakat. Kondisi ini memperlihatkan, kalangan bisnis swasta menahan investasi dan menghindari risiko, salah satunya karena isu ketidakpastian ekonomi dan politik.

Terlebih, menjelang tahun politik 2018-2019 yang berisikan agenda pilkada dan pilpres. Penurunan investasi dalam jangka pendek dapat menghilangkan potensi pendapatan negara dari pajak korporasi. Dalam jangka panjang dapat menurunkan konsumsi masyarakat karena minimnya penciptaan lapangan pekerjaan dan sumber pendapatan.

Kelima, sebetulnya pemerintah, khususnya di bawah pemerintahan Joko Widodo telah melakukan langkah yang cukup berani dengan berfokus pada pembangunan infrastruktur yang dapat menjadi sumber pertumbuhan ekonomi baru.

Sayangnya, proyek infrastruktur yang digalakkan berfokus pada penciptaan konstruksi yang dampaknya terasa jangka panjang, tapi membutuhkan pembiayaan besar di masa sekarang. Hal ini menunjukkan, performa investasi pemerintah bergantung pada performa fiskal pemerintah.

Rutinnya pemerintah melakukan perombakan APBN menjadi APBN pengganti, khususnya pemotongan anggaran menyebabkan investasi yang dijalankan pemerintah berpotensi mengalami risiko likuiditas.

Seberapa tertarik Kamu untuk membeli mobil listrik?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement